Dor!!!

13 1 0
                                    

Dor!!!

Bagai tertusuk bilah pedang panas. Perih. Sakit. Nyeri. Sesak. Tangis. Tak! Tidak. Gendis tak merasakan itu saat melihat lelaki tersayangnya berbaring di kasur dengan alat-alat medis terpasang di tubuhnya. Gendis tersenyum picik. Menganggap ini hanya mimpi buruk yang ia alami. Ini mimpi buruk. Jelas mimpi buruk untuknya. Gendis segera memukul pipinya, berharap ia sadar dari mimpi itu.

Suci bercerita, semalam ia mendapat telepon dari Desti, sang pembantu Nyai. Memang benar lelaki itu pernah tinggal di sana, tinggal di penginapan milik Nyai. Namun, sudah beberapa bulan terakhir, lelaki itu tak lagi tinggal di sana, pindah ke sebuah rumah sakit di pinggir kota dan berbaring di tempat tidur tanpa tau kapan akan bangun.

Telinga Gendis memanas.

Suci merangkul Gendis. Kekasih Gendis mengalami kecelakaan besar yang membuatnya seperti ini bersama saudaranya. Kecelakaan yang membuat keduanya harus tertidur di ruang ICU. Gendis menatap lelaki itu dari kejauhan.

"Dia mengalami patah tulang rusuk, kaki dan leher Dis." Suci pun ikut memandang lelaki itu, matanya ikut berkaca, teringat betapa lincahnya lelaki itu dahulu. "Sudah beberapa kali oprasi, tapi keadaannya belum ada kemajuan, dan juga belum tersadar dari komanya."

"Gua mimpi kan Ci?"

Suci menggeleng kuat, "Enggak Dis, dia Ga..."

"Gendis?"

Gendis, Suci maupun Azka berbalik. Melemparkan pandangan mereka kepada seorang ibu dengan seorang lelaki yang terduduk lemah di kursi roda dengan infus dan berbalut perban di kepala juga kakinya. Lelaki itu menatap Gendis datar lalu membuang pandangannya ke sisinya, terlihat sekali bahwa ia tak ingin melihat Gendis. Tubuh Gendis seketika meremang.

Ibu itu langsung memeluk Gendis erat, ia bahkan terisak, Gendis ikut terenyuh tapi tak bisa menangis, seolah tanginya telah ia buang begitu saja kemarin.

"Maafkan bunda sayang, maaf..." lirih wanita itu menatap Gendis dalam penuh penyesalan. Gendis tak bergeming. Wanita itu mengusap rambut Gendis dan kembali memeluk Gendis. "Bunda, bunda nggak bisa ngasih tau kamu dari awal."

"Bun?!" panggil lelaki yang ada di kursi roda, ia tampak marah.

"Gamma! Gendis sudah di sini! Bunda nggak bisa lagi menutupinya." Wanita itu tampak terpukul lalu lelaki itu pergi menuju ruang inapnya yang bersebelahan dengan ruang ICU dimana kekasihnya Gendis berbaring. "Gam? Gamma?" wanita itu mengejar Gamma.

Gendis masih terpaku dengan ini semua. Itu bukan mimpi yang seperti ia pikirkan. Ini benar-benar nyata!

Azka menuntun Gendis menuju ruang inap. Gamma tengah dibopong ibunya untuk kembali berbaring di ranjang. Gendis tak berani memasuki rangan itu. Gamma sama sekali tak mau melihat Gendis, ia langsung menutup wajahnya dengan selimut.

Gamma menghindar, sama seperti saat ia tau bahwa Gendis dan kembarannya telah resmi berpacaran.

Enam tahun lalu...

Cuaca pagi sangat cerah, secerah aura wajah Suci. Ia bergegas berlari menyamakan langkahnya dengan sahabatnya yang sudah memasuki kelas. Suci lekas merangkul Gendis gemas.

"Cieee..." Ledeknya tepat di telinga Gendis.

Gendis mendengus kesal, ia terkaget dengan ulah Suci. "Apaan sih?"

"Nggak usah sok blo'on deh Dis."

"Nggak jelas ah." Gendis melepas rangkulan Suci, lalu menaruh tasnya pada meja.

"Jelas lah. Lu jadian kan sama Gabbel?" ucap Suci terang-terangan.

Saat itu pula Gamma masuk dan memberhentikan ritual nyanyiannya yang biasa ia nyanyikan saat pagi hari. "Dut-dut lang kecapi pentil, Gendis pulang tainya nyempil."

"Siapa yang bilang?" Gendis shok.

"Gabbel."

"Gabbel nembak lu?" kini Gamma melangkah ke dua sahabat sejoli itu.

Gendis menggeleng.

"Gabbel nembak lu?" Gamma mendesak.

Gendis ragu, menggeleng kemudian mengangguk.

"Gabbel nembak lu?"

"Iya." Suci yang menjawab.

Tawa Gamma meledak, Gendis dan Suci heran.

"Terus lu lari nggak?" tanya Gamma di sisa-sisa tawanya.

"Kok lari?"

"Iya, harusnya lu lari." Gamma mengangguk, "Ditembakkan?" Gendis yang mengangguk, "Dor!!!" tangan Gamma seolah sedang memegang senapan.

"GAMMA!!!" persis kuda nil yang berlari mendengar suara senapan. Tapi ini beda, Gendis justru melakukan ritualnya, mengejar Gamma dan menjambak rambutnya hingga teriakan menyerah dari Gamma menggelegar di sekolah.

Gendis kesal bukan main, hipertensinya sudah diubun-ubun. Gamma tidak menganggap berita gembira itu dengan serius, selalu dengan guyonan. Jelas-jelas yang dimaksud Suci adalah Gabbel yang menembak Gendis, lalu jadian. Bukan Gabbel menembak Gendis lalu Gendis lari terbirit-birit takut ditembak seperti hewan buruan. Ah.

Setelah lama sekali ada yang berbeda dengan Gamma, Gendis baru menyadarinya. Setiap pagi tidak ada lagi lagu dari Gamma, lagu yang sebenarnya membuat kuping panas. Tak ada lagi, walaupun terdengar dari kejauhan sekalipun. Tak ada lagi guyonan yang terlontar dari mulut Gamma. Tak ada lagi nama panggilan khusus yang dibuatnya untuk Gendis. Gemblong, gentong, galon atau sejenisnya, tak pernah Gendis dengar lagi.

Sebenarnya Gendis senang. Sangat senang, tak ada penindasan lagi kepada darinya. Namun ia merasa tak enak hati. Gamma juga seolah menghindar darinya, bicara seperlunya, tak pernah menatap Gendis saat berbicara, menghindar saat berpapasan dengan Gendis, hingga pernah suatu ketika, mereka dipasangkan lagi dalam tugas Bahasa Indonesia, dengan formasi yang sama, yaitu Gendis, Gamma dan Suci, masih sama, dengan senang hati Gamma menjadikan rumahnya sebagai basecame untuk mengerjakan tugas itu. Di hari minggu, hari dimana janji untuk mengerjakan tugas, Gamma tak ada di rumahnya. Entah kemana. Bahkan Gabbel pun tak tau.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang