There he goes again...Setelah apa yang terjadi pada Yara, Maraka kembali terduduk di hadapan meja belajarnya.
Diam.
Tapi riuh.
Tanda tanya kembali mengelilingi sekitar kepala, namun ia tidak melakukan apa-apa.
Sebab, ketika ia bergerak dan berusaha mengambil aksi, bukan jawaban dengan tanda titik yang ia dapatkan, melainkan tanda tanya tanda tanya lain yang berputar semakin kencang.
Maraka seolah memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan setiap orang–kecuali dirinya sendiri.
Rambut depannya basah, terkena air setelah mencuci wajah. Tetesan air dari ujung rambutnya jatuh di atas buku yang terbuka; buku yang berisikan seluruh tanda tanya; serta harap, bahwa suatu saat ia akan mampu menjawab semuanya sendirian.
Di luar, suara bising terdengar, teman-temannya seperti biasa kehilangan jam tidur karena memprioritaskan hiburan di depan layar pc. Tapi Maraka enggan keluar dan bergabung; ia lebih nyaman duduk dengan pikirannya sendiri.
Ia kembali mengambil gitar, membuka perangkatnya untuk mencari chord dari lagu yang belakangan sering ia dengarkan.
Pengalihannya selalu sama; pada gitar akustik berwarna coklat yang setia menemani upayanya mendapatkan lelah.
Mereka yang tidak paham mungkin akan menganggap Maraka berlebihan; jika mereka melihat sisi abu-abu dari cerahnya wajah itu setiap hari.
Apa, sih, yang kerap kali mengganggu?
Apa yang selalu dipertanyakan?
Seberat apa, sih, hidup yang sedang dijalankan?
Maraka pernah sekali berbagi pada seorang teman, tentang bagaimana penuh dan riuhnya isi kepala. Kadang semua bisa ia keluarkan dan identifikasi, ia jabarkan, ia pilah untuk dibiarkan di luar saja, dan mengembalikan hanya hal-hal yang penting ke dalam kepala. Namun, seringnya semua berantakan dan berisik tanpa rupa; sehingga ia juga merasa kesulitan ketika ditanya "kenapa?"
Kali pertama ia berbagi, ia malah mendapatkan cemoohan.
"Kenapa, sih, hidup lo kayanya berat banget?" disampaikan dengan intonasi yang tidak mengenakkan untuk didengar telinga, membuat Maraka akhirnya urung bercerita; dan malah menyalahkan dirinya sendiri, karena menganggap hidup sebagai sebuah perjalanan yang berat bukanlah hal yang ia inginkan.
Tapi toh Maraka juga tidak pernah menyalahkan si lawan bicara. Mungkin ia memang memiliki ekspektasi akan respons apa yang akan ia terima ketika bercerita, dan sangat wajar jika ekspektasi itu patah.
Siapa suruh berekspektasi?
Pada akhirnya, ia hanya mempercayai lembaran kertas yang sering tergeletak di atas meja, atau di rak ketika ia sedang pergi; menghindari kemungkinan dibukanya buku keramat itu oleh teman-teman yang bisa saja menganggap itu sebagai catatan materi perkuliahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA PAGI
General FictionAruna dan Maraka, mengarungi masa awal pendewasaan dengan banyaknya suara di kepala serta pilihan-pilihan pelik dan rahasia-rahasia yang dibagi berdua di penghujung malam.