9. She Ain't a Rainbow

11.9K 2.2K 1.1K
                                    

Ada rasa takut mengecewakan yang mengendap di dalam kepala seorang Aruna Yara, membuatnya berhari-hari hanya bisa melihat jendela yang mengarah ke luar dengan tatapan kosong tanpa arti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ada rasa takut mengecewakan yang mengendap di dalam kepala seorang Aruna Yara, membuatnya berhari-hari hanya bisa melihat jendela yang mengarah ke luar dengan tatapan kosong tanpa arti.

Banyak pertanyaan tentang mengapa dan bagaimana terkait kehidupan yang telah dilewatinya sejak lama. Pertanyaan yang tidak pernah benar-benar pergi meski sempat menghilang untuk kemudian datang lagi.


Yara selalu enggan untuk membicarakan apa yang ia rasakan, meski rasa muak di hatinya semakin lama semakin meminta untuk dimuntahkan; pada siapa saja, dalam bentuk apa saja, asal tidak selalu ditumpuk dengan pertanyaan baru yang membuatnya semakin mual.

Ia terbiasa bersembunyi dan menyembunyikan; apapun, termasuk tanda tanya dan tanda seru dalam kepala dengan senyum yang terulas di bibir, serta kalimat bijak yang ia sampaikan pada banyak telinga; seolah apa yang ia miliki dalam kepala sudah usai dengan tanda titik.


Yara tahu ia butuh bercerita, atau setidaknya memuntahkan pikiran dalam bentuk tulisan; namun ia urung melakukan keduanya. Ia lebih memilih untuk diam, menelan setiap kalimat yang seharusnya dikeluarkan; memendamnya jauh lebih dalam dan lebih dalam lagi tanpa perlu mencari media untuk ditumpahkan, meski belakangan ia merasa Maraka hadir sebagai jawaban.

Namun tidak, elaknya pada pikiran sendiri.


Maraka tidak memiliki tanggung jawab untuk membuatnya merasa lebih lega apalagi terobati. Meski ia sadar betul, Maraka akan menerima berbagai ceritanya dengan sangat terbuka, bahkan berupaya untuk menutup luka tanpa perlu diminta.


Sejenak, Yara memikirkan bagaimana jika ia dan Maraka ditakdirkan untuk bersama; selalu ada untuk satu dan lainnya. Tapi lagi, ia mengelak. Hal itu nantinya hanya akan merepotkan Maraka, hanya akan membawa keuntungan bagi Yara; dan Yara benci akan kemungkinan itu. Ia percaya bahwa ia masih mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa perlu membagikan kegelisahannya pada siapapun; tidak pada Maraka, tidak pada kertas.


"Let's play a game!" satu notifikasi yang Yara ketahui dari siapa tanpa perlu mengeceknya seketika mengalihkannya dari lamunan. Yara melihat jam di dinding sebelum membalas pesan itu; pukul 11 malam.

Bukan hanya hari ini, tapi seringkali Yara merasa ia dipantau oleh Maraka melalui kamera tersembunyi, karena tidak hanya sekali Maraka tiba-tiba hadir ketika ia sedang merasa kalut dan kehilangan semangat hidup; Maraka seolah datang untuk mengingatkannya bahwa masih ada, dan akan selalu ada alasan untuk terus bergerak maju.


"What game?" balas Yara, masih dengan ekspresi wajah yang penuh kekalutan; Maraka, orang di balik pesan singkat itu menyelamatkan Yara dari pikirannya sendiri.

"Let's ask each other question without giving an answer."

Seringkali Yara berpikir bahwa Maraka adalah orang yang ajaib, hingga ia tidak mampu menebak apa yang ada di dalam pikiran anak itu setiap kali ia mengirimkannya sesuatu.

TIGA PAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang