Aruna dan Maraka, mengarungi masa awal pendewasaan dengan banyaknya suara di kepala serta pilihan-pilihan pelik dan rahasia-rahasia yang dibagi berdua di penghujung malam.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Yara, kalau Yara sedih, biasanya Yara ngapain?"
"Hm... Yara diem."
"Kalau lagi marah, biasanya Yara ngapain?"
"..... Diem."
"Kalau lagi kecewa?"
Ada jeda sebentar, "Yara diem juga."
Pulang ke rumah selalu menjadi waktu interogasi bagi Yara. Bukan Mama, juga bukan Papa yang hobi menyerangnya dengan berbagai pertanyaan--tapi Tante Nia, adik bungsu Mama yang juga tinggal serumah dengannya.
Tante Nia bukan psikolog, bukan juga psikiater. Tante Nia pekerja kreatif yang sehari-harinya bertemu dengan banyak orang. Relasinya luar biasa luas. Pemahamannya tentang manusia juga mengagumkan. Dari Tante Nia, Yara banyak belajar.
Bagi Yara, Tante Nia adalah role model. Mandiri, cerdas, dan memiliki prinsip hidup yang kuat. Ia hampir tidak pernah goyah oleh perkataan orang lain tentangnya. Ia juga selalu bisa menempatkan diri di setiap situasi. Sebenarnya nggak berbeda jauh dengan Ibunya, hanya saja Tante Nia jauh lebih ekspresif, sementara Ibunya cenderung memendam dan lebih keras.
Hari ini Yara memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah. Mumpung menuju akhir pekan dan nggak ada hal yang perlu diselesaikan di kampus. Seperti biasa, Ibunya sibuk. Lembur sampai nggak kenal waktu, tapi Yara sudah terbiasa. Untung ada Tante Nia yang selalu siap menemaninya.
Tante Nia masih memandang Yara lurus, seolah ingin terus menggali informasi seperti peneliti yang sedang menemui narasumber. Tidak akan menyerah hingga apa yang ia cari bisa didapatkan.
"Kapan terakhir kamu ngerasa sedih?" Pertanyaan lain muncul.