1. Maraka dan Tingkahnya

43.1K 5.1K 2.6K
                                    

cerita ditulis ulang, berbeda dengan yang sudah di publish sebelumnya.

•••

Cahaya matahari menyorot cukup terik ketika Yara baru sampai di kampus dan melihat beberapa adik tingkatnya duduk berjajar di bangku taman dengan ponsel dan buku yang berada di tangan masing-masing. Yara melirik pergelangan tangannya untuk melihat berapa waktu yang ia miliki sampai kelasnya dimulai.


"Kelas Yar?" satu suara menyapanya dari belakang, membuat Yara dengan cepat menoleh dan melihat Brian, teman seangkatan yang juga merupakan ketuanya di himpunan menyapa dengan kemeja yang kusut dan wajah yang penuh kantuk.

"Wey Bri!" sapa Yara balik, "kusut banget kemeja sama muka, belum sempet di setrika?"

Brian menjawab gurauan Yara dengan senyuman yang membuat mata beratnya menyipit hingga hampir terpejam. "Iya nih kacau gue, kemeja kusut, muka kusut, udah kaya kaset rusak aja gue."

"Jangan sampe ketiduran lo di kelas. Inget, ketua himpunan, citranya harus dijaga. Kalo citra lo rusak, gue juga yang repot," pesan Yara.

"Siap bu kadep humas! Gue ngga bakal nambahin kerjaan lo santai," Brian mengangguk dan menepuk pundak Yara, "btw jangan lupa nanti habis maghrib rapat pimpinan di kontrakan gue," ujarnya kemudian membetulkan posisi ransel di pundak dan berlalu.





"Kok ngga pada masuk kelas? Pasti pada bolos," tanpa permisi Yara duduk di sebelah Ecan dan mengganggunya yang sedang fokus pada game di ponsel.

"Diem teh jangan deket-deket," Ecan bergeser dan langsung mengumpat dengan cepat ketika karakter di dalam permainannya mati. "Teh Yara sihh!" rautnya terlihat kesal dan dilampiaskan emosi sesaatnya pada Yara.

"Kok aku yang salah?" tanya Yara. Lagian kamu harusnya di kelas Akmal, bukan malah main game disini."

"Jangan panggil Akmal ah, kaya baru kenal. Panggil Ecan aja biar akrab."


"Nama kamu kan Akmal Fachrezan, kenapa dipanggilnya Ecan?" tanya Yara lagi.

"Beliin cakue dulu baru dijawab," ujarnya seraya memanggil pedagang cakue yang biasa berkeliling di fakultasnya dan memesan dengan seenaknya. "Lima ribu Teh," ujarnya pada Yara ketika cakue sudah ada di tangannya.

Yara dengan tenang mengeluarkan selembaran uang berwarna ungu dan memberikannya pada penjual cakue. "Lima ribu lagi mang, buat mereka," tunjuknya pada Nana dan Jeno yang duduk dihadapannya.

"Makasih Teh.." ujar Nana dan Jeno bersamaan.


"Jadi apa jawabannya Mal? Kenapa kamu dipanggilnya Ecan?" tanya Yara, tidak melupakan janji yang dibuatnya barusan.

"Kan dari nama belakang teh. Fachrezan, Ejan, Ecan, gitu."

"Ya harusnya Ejan aja dong ngga usah jadi Ecan?"

"Ecan waktu kecil ngga bisa ngomong J teh, makanya jadi Ecan Ecan gitu ngga bisa Ejan jadi keterusan. Mang punten nyuhunkeun saosna sakedik deui. Hatur nuhun," ia langsung mengalihkan pandangan kembali ke pedagang cakue setelah menjawab pertanyaan Yara.




Yara mengangguk, "terserah. Tapi aku manggil kamu Akmal aja ya, udah terlanjur enak."

"Nya bebas," jawab Ecan singkat sambil terus mengunyah cakue yang memenuhi mulutnya.


"Teteh ngga ada kelas?" tanya Nana yang sedari tadi diam dan hanya fokus dengan makanannya.

"Ada, masih 10 menit lagi. Kalian bolos? Apa lagi nunggu kelas?"

TIGA PAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang