Part 22

122 13 0
                                    

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

Sesuatu apakah itu? Apa sesuatu itu sangat penting? Tapi kenapa perasaanku tidak enak? Aku melihat jam di ponselku. Pukul delapan malam lewat lima belas menit. Jiyong tidak mengajakku makan malam. Entah dia kemana hingga saat ini belum kembali. Seandainya aku bisa membaca pikiran orang, pasti itu akan lebih mudah memahami perasaan orang lain.

Pukul delapan lewat tiga puluh menit. Rasa kantuk mulai menyerang. Dimana Jiyong? Kenapa aku khawatir padanya? Aku tidak memiliki nomor Jiyong, bahkan media sosialnya aku tidak punya. Aku ragu menanyakannya karena itu sama saja membangkitkan rasa sakit yang aku rasakan.

Ingat, aku berjanji akan melupakan Jiyong. Tidak ada perdebatan lagi dalam hatiku. Hatiku yang merasa tidak rela jika aku melupakannya harus berusaha untuk tegar. Aku masih memiliki Taka, ingat itu. Taka sangat mencintaiku dan aku juga sangat mencintainya. Taka tidak ingin kehilanganku dan aku juga tidak ingin kehilangannya.

Ngomong-ngomong, apa Taka sudah tiba di Indonesia? Kenapa Taka tidak memberiku kabar? Aku memutuskan untuk menelponnya. Sial. Nomor Taka tidak aktif. Mungkin Taka sedang dalam perjalanan menuju Indonesia.

"Jiyong!"

Jiyong baru saja masuk. Bodohnya jantungku mulai berdebar-debar tak karuan. Aku masih belum bisa mengatasi detakan jantungku ketika aku bertatapan dengan Jiyong. Tapi bukankah besok aku sudah tidak melihatnya lagi untuk selama-lamanya?

Kami saling berhadapan. Aku tidak sanggup melihat wajahnya. Jiyong, sepertinya lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Apa itu karena aku? Apa yang sudah aku lakukan pada Jiyong sehingga Jiyong bisa menjadi seperti itu?

Kemudian Jiyong meraih tanganku. "Ayo ikut aku. Aku ingin mencari udara segar di luar sana."

Apa ini saatnya Jiyong mengatakan sesuatu yang ingin dia katakan padaku? Detakan jantungku masih belum normal. Aku memejamkan mataku sambil menikmati perasaan-perasaan yang seharusnya sudah aku buang sejak awal. Bodoh. Aku memang bodoh.

Jiyong menghentikan langkahnya. Otomatis aku ikut menghentikan langkahku. Kami kembali saling berhadapan dan bertatapan satu sama lain. Cahaya dari lampu dapat membuatku melihat dengan jelas wajah Jiyong yang memang tidak baik-baik saja. Jiyong tampak ragu. Lelaki yang terlalu percaya diri itu berubah menjadi lelaki dengan penuh keraguan di dalam hatinya.

"Apa kau menyesal bertemu denganku?" Tanya Jiyong.

Menyesal? Haruskah aku menjawab dengan jujur? Ya. Aku tidak menyesal bertemu dengannya. Aku senang bertemu dengannya, hanya saja aku menyesal karena perasaan ini hadir di dalam hatiku, yang membuatku bingung dan menangis.

"Aku ingin jawaban darimu." Ucap Jiyong.

Aku mulai membuka mulutmu. "Apa.. Apakah itu penting bagimu?" Tanyaku.

"Kau pernah bilang bahwa seharusnya kita tidak bertemu. Artinya, kau menyesal bertemu denganku. Aku merasa karena aku, kau jadi menderita seperti ini. Tapi aku tidak tau apa salahku padamu."

Tidak. Itu bukan karenamu, tapi karena aku. Aku yang salah karena aku tidak mau berkata jujur padamu. Aku berani bertaruh jika Jiyong tau kalau aku sudah punya pacar, dia tidak akan mendekatiku. Dia tidak akan bertemu denganku setelah kejadian yang mempertemukan kita untuk pertama kalinya.

Tiba-tiba Jiyong meraih tanganku, lalu mengenggam tanganku. Jangan. Tolong jangan memperburuk keadaan. Besok aku sudah meninggalkan pulau ini. Aku sudah cukup tersakiti, dan aku tidak mau tersakiti lagi hanya karena hal ini. Aku menatap Jiyong. Begitu nyaman saat menatap wajahnya, dan senyumannya yang selalu membuatku bahagia.

Last Dance | GDRAGONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang