“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.
“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.
Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.
“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.
“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.
“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”
“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.
Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.
“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.
Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masalahnya, kalau sudah melihat Anin merengut begitu, pasti dia sedang ada masalah.
“Aku ikut kamu ya,” kata Jonan sebelum Anin sampai di parkiran.
Anin berhenti dan menoleh. “Mobil kamu di mana?”
“Nggak bawa mobil. Aku naik taksi tadi,” jawab Jonan sambil nyengir. “Ikut ya?”
“Nggak ah!” tolak Anin. “Pulang saja sendiri!”
Jonan diam menatap Anin dengan sendu. Lama kelamaan tatapan itu berubah menjadi menyedihkan dan hampir membuat Anin ingin muntah.
“Ya oke!” kata Anin kemudian sebelum Jonan merengek.
Senyum puas seketika mengembang sempurna di wajah Jonan. Tampang memelas memang terkadang berguna untuk merayu seseorang. Jonan mungkin saat ini sedang tertawa karena berhasil merayu Anin dan membuat wajah Anin merengut jengkel.
“Biar aku yang menyetir saja.” Jonan hendak menyerobot pintu sebelah kanan, tapi dengan cepat Anin langsung mencegahnya.
“Nggak usah!” hardik Anin. “Bukannya pulang, yang ada kamu bawa aku entah kemana.” Anin kemudian masuk ke dalam mobil.
Jonan yang masih di luar terlihat terkekeh sendiri. “Aku memang berniat bawa kamu pergi, Anin,” gumam Jonan.
“Cepetan!” lengkingan suara cempreng itu membuat Jonan kaget. “Mau aku tinggal?”
“Iya, iya, sebentar.” Jonan mendengkus. “Galak banget sih!”
“Terserah!” saur Anin.
Harusnya Jonan tahu kalau niat Anin bukan sedang marah-marah padanya. Anin hanya sedang mengalihkan pembicaraan yang mungkin saja akan menjurus ke hal sensitif. Itu yang biasa terjadi saat sedang ngobrol dengan Jonan, itu sebabnya Anin memilih bersikap sedikit kasar.
“Kamu kenapa marah-marah, sih?” tanya Jonan.
Anin tak menjawab. Anin tetap diam menatap lurus ke jalanan yang lumayan padat pengendara lain.
“Jawab dong!” sungut Jonan.
“Bisa diam nggak?” Anin melirik tajam. “Jangan ganggu, aku lagi nyetir.”
“Kamu cantik, Anin.”
Ciiiiit! Mobil berhenti mendadak. Untung saja mobil berhenti tepat di lampu merah. Setidaknya tidak terlalu membuktikan kalau Anin sedang terkejut dengan perkataan Jonan.
“Hati-hati, Anin,” celetuk Jonan yang sudah mencengkeram pegangan pintu. “Kamu buat aku kaget!”
“Salah kamu!” Anin memukul bundaran setir. “Bisa nggak, kalau kamu nggak ganggu aku, ha?” Anin membulatkan bola matanya lebar-lebar ke arah Jonan.
Bukan Jonan namanya kalau tidak berani membalas pelototan itu.
“Aku nggak ganggu. Aku kan cuma mengajak kamu ngobrol. Wajah kamu cemberut terus, makanya aku penasaran.”
Anin mendesah kemudian mengeraskan tulang rahang. “Dengar ya, Aku tahu kamu kasihan sama aku. Kamu kasihan karena aku selalu banyak masalah dengan suamiku. Tapi plis, jangan buat aku berharap lebih.” Anin mendesah lagi kemudian memutar pandangan ke depan karena lampu sudah kembali hijau.
Jonan masih betah memandangi Anin. Jonan bahkan sama sekali tak peduli dengan ocehan Anin, terkecuali untuk beberapa kata di bagian terakhir.
“Kamu pikir aku kasihan sama kamu?” tanya Jonan. Anin tetap diam. “Aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Untuk apa kamu dikasihani.”
Semakin tidak fokus, pada akhirnya Anin menepikan mobil di kiri jalan. Tepat di bawah pohon rindang yang tidak terlalu banyak mobil melintas.
Anin nampak masih diam. Kedua tangannya masih mencengkeram kuat bundaran setir. Pandangannya nanar dan tak lama kemudian mulai menitikkan buliran bening dari balik mata indah itu.
“Lho, kok malah nangis?” pekik Jonan tiba-tiba. “Hei!” Jonan melepas sabuk pengaman kemudian bergeser sedikit.
“Jonan,” lirih Anin. Jonan terkesiap. “Jangan buat Aku seolah sedang di perhatikan. Jangan memberi aku perhatian. Aku sedang ada masalah, aku mohon kamu jangan menambahinya.” Anin berbicara dalam isak tangis.
“Memangnya salah kalau aku kasih perhatian ke kamu?” tanya Jonan.
Anin menggeleng berat. “Aku nggak tahu. Aku hanya nggak mau salah tangkap nantinya,” kata Anggun tanpa berani menoleh sedikitpun.
“Apanya yang salah tangkap?” Jonan sungguh tak mengerti.
Anin menyedot ingus, lalu mengusap kasar air matanya. Sebelum berbicara lagi, Anin terlihat menghela napas beberapa kali.
“Jonan, stop memberi perhatian padaku. Berhenti menggangguku. Aku tahu kamu hanya sedang kasihan sama aku. Jadi ... cukup.” Anin tersenyum kecut sebelum kembali membuang muka.
“Tahu nggak.” Jonan berbicara dengan nada tinggi. “Aku heran kenapa kamu selalu berpikiran kalau aku kasihan sama kamu. Padahal aku sama sekali nggak kasihan sama kamu. Aku cuma nggak mau melihat kamu sedih. Harusnya kamu peka dengan perasaan aku, Anin.”
“Keluar,” pinta Anin. Jonan yang sudah berkata panjang lebar penuh tenaga, hanya terperanjat dan ternganga.
“Aku bilang, keluar,” kata Anin lagi. Air maya yang semula sempat berhenti itu, mendadak mengalir lagi lebih deras.
“Tapi Anin ....”
“KELUAR!” Anin berteriak dengan lantang sampai-sampai membuat Jonan terjungkat kaget.
Tak mau membuat Anin tambah marah-marah, Jonan diam sejenak. Keluar dari mobil ini tentu bukan cara yang tepat. Itu pikir Jonan. Anin sedang menangis dan dalam kondisi sedang tidak baik, akan bahaya kalau dibiarkan menyetir sendiri.
“Oke, Aku minta maaf. Aku salah,” kata Jonan kemudian. “Aku nggak akan bahas ini lagi atau ganggu kamu lagi, Tapi biarkan aku menemani kamu sampai rumah. Atau kalau boleh, biar aku yang menyetir.”
Jonan tidak menyangka kalau Anin menyetujui untuk bertukar tempat. Anin sudah beranjak berdiri dan keluar dari mobil. Jonan kemudian juga bergegas ikut keluar. Ketika saling berpapasan di depan moncong mobil, Jonan sempat menatap Anin, tapi Anin langsung melengos dan masuk ke dalam mobil.
“Maaf Jonan,” batin Anin usai memakai sabuk pengaman dan duduk bersandar. “Aku bukan berniat membentak kamu. Aku cuma nggak mau terbawa suasana saat sedang bersama kamu. Aku nggak mau kejadian di danau terulang lagi. Aku nggak mau semakin hanyut.”
Anin terdiam hingga lama-kelamaan bola matanya mengatup rapat. Anin jatuh ke dalam mimpi.
“Aku minta maaf, Anin,” gumam Jonan sambil mengusap rambut Anin. “Mungkin aku juga terlalu berharap sama kamu. Huh! Menyedihkan sekali aku!” Jonan tersenyum getir.
Jatuh cinta dengan istri sang kakak, tentu saja salah. Namun, Jonan tidak akan sampai sejauh ini kalau bukan karena Bagas mempermainkan Anin. Jonan sendiri sudah bertekat untuk mencari tahu alasan Bagas berbuat demikian, pun dengan sebuah foto itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Kedua #Tamat
Lãng mạnWarning!! Hanya untuk pembaca di atas umur 20 tahun. Mohon Bijak! (21+) Menghadapi pertengkaran di saat malam pertama, bukanlah hal yang diinginkan setiap pasangan pengantin baru. Anindhiya Saputri, atau biasa dipanggil Anin, terpaksa mengalami hal...