21. Rindu Dia

2.1K 112 2
                                    


Tak mudah bagi Jonan untuk berbicara yang sebenarnya pada papa. Papa sudah terlalu percaya dengan kehebatan Bagas yang memang ahli dalam mengurus perusahaan. Bukan hanya papa yang percaya dengan, tapi mama juga. Jonan akan kesulitan jika hanya sekedar berbicara tanpa menunjukkan bukti bahwa pernikahan Bagas dan Anin tidaklah bahagia.

Harusnya malam ini Jonan ingin berbicara dengan Anin menyangkut masalah dengan Bagas, akan tetapi Jonan harus pergi ke luar kota untuk mengurus pengiriman barang dari pabrik. Kemungkinan Jonan menginap di luar kota selama dua hari.

Sementara di rumah, Anin yang masih duduk sendirian terlihat sangat gelisah. Sedari siang, Anin hanya duduk, berdiri lalu kembali naik ke kamar dan kemudian kembali ke lantai satu dan duduk lagi di ruang tamu. Apa yang membuat Anin gelisah adalah Jonan. Entah kenapa Anin begitu merindukan sosok Jonan. Padahal, tadi pagi Anin sudah sembat bercengkerama dengan Jonan.

“Kenapa aku jadi gelisah begini ya?” gumam Anin sambil mondar-mandir di ruang tamu. Anin menunduk, dengan satu ujung kuku ia gigit.

“Aku merindukan Jonan,” gumam Anin.

Anin ingin menampar bibirnya yang sudah dengan lancang mencuatkan sebuah kata yang seharusnya tidak pernah Anin ucapkan. Mau bagaimana lagi? Memang itu yang sedang Anin rasakan saat ini.

“Ngapain kamu mondar-mandir di sini?” tegur Bagas yang baru saja pulang dari kantor.

“Eh, Mas? Sudah pulang?” Anin mendadak gugup. “Sini aku bantu.” Tentu saja Anin masih mencoba melayani sang suami dengan baik.

“Nggak usah,” tolak Bagas yang langsung menarik mundur tas kerjanya. “Aku capek, mau istirahat.”

Anin cukup tersenyum tipis dan membiarkan Bagas berlalu meninggalkannya. Sudah satu tahun lebih diacuhkan, Anin harusnya berhak mendapatkan sebuah penghargaan sebagai wanita terkuat sejagat. Wanita yang normal, pada umumnya pasti akan memilih pergi bagaimanapun caranya. Namun, tidak dengan Anin. Sampai detik ini, Anin masih bertahan.

“Sudah petang, kenapa belum pulang?” mendadak Anin tak peduli dengan sikap Bagas. Di otak Anin justru saat ini dipenuhi oleh bayang-bayang Jonan yang tak kunjung pulang.

Anin kemudian membuang napas dan memilih masuk ke dalam. Bukan naik ke lantai satu, melainkan Anin memilih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.

“Anin, sendirian saja?” tegur Mama. Mama baru pulang dari salon.

“Eh, Mama. Iya, Ma. Bosan di kamar,” jawab Anin. “Mama baru pulang?” Anin berdiri dan membantu mama yang tengah membawa belanjaan banyak.

“Iya, tadi mama sekalian mampir ke super market,” jawab Mama.

Anin membawa kantong keresek berisi belanjaan kebutuhan sehari-hari itu ke dapur. “Kenapa nggak minta tolong Anin saja, Ma? Anin kan nganggur,” kata Anin.

Mama tersenyum kemudian mengempaskan tubuh di sofa usai melempar tas selempang sofa kosong. “Mama lewat depan mini market, jadi sekalian belanja.”

“Mau aku buatin teh?” tawar Anin.

“Boleh deh,” sahut Mama. “Tapi jangan manis-manis ya ….”

“Oke, Ma.”

Tak selang beberapa lama kemudian, papa juga pulang. Papa datang tanpa membawa apapun terkecuali tas kerjanya. Ya, memang biasanya juga seperti itu.

Suami Kedua #TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang