15. Saksi

1.8K 99 5
                                        


Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.

Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.

Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?

"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.

Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”

Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.

“Aku ada urusan.” Bagas meraih jaket kemudian kontak mobil di atas nakas. “Kamu istirahat saja. Jangan sampai mama berpikir kalau aku nggak peduli sama kamu.”

Anin tersenyum getir. “Bukankah kamu memang nggak peduli?” batin Anin.

Bagas sudah berlalu meninggalkan kamar. Sekitar lima menit dari kepergian Bagas, tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang yang sangat Anin kenal muncul dari balik pintu tersebut.

“Boleh aku masuk?” tanya Jonan.

Anin mencebik tatkala Jonan sudah berlenggak mendekat. “Aku belum memberimu ijin, tapi kamu sudah masuk.”

Jonan meringis sambil garuk-garuk kepala. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya Jonan kemudian.

“Baik.”

Jonan tidak bertanya lagi. Ia sedang mengambil kursi persegi yang tergeletak di depan meja rias, kemudian membawanya ke samping ranjang.

Jonan lantas duduk. “Kamu pingsan karena lapar?” tanya Jonan. Mata Jonan melirik sepiring makanan yang belum tersentuh.

Anin mengangguk. Piring tersebut kemudian Anin raih lalu dipangkunya. “Gara-gara kamu aku nggak makan.”

Diam sesaat, Jonan memandangi Anin yang mulai menyuap nasi tersebut. “Harusnya kamu menyalahkan suamimu. Kalau dia perhatian, dia nggak mungkin meninggalkan dan membiarkan kamu lupa makan.”

Anin masih mengunyah makanan dalam hening. Jonan berkata benar, Anin tahu itu. Bagas yang bersalah dalam ini, tapi sekedar menegur saja Anin tidak punya keberanian.

“Kamu harus berusaha mencari bukti. Kamu buktikan kalau kamu nggak salah.”

Anin tetap diam sambil terus memasukkan sesendok demi sendok makanannya. Anin sampai tidak sadar kalau mulutnya masih penuh, tapi terus di isi.

“Anin!” hardik Jonan. “Pelan-pelan makannya.”

Pipi Anin terlihat menggembung. Tanpa Jonan tahu, ternyata Anin sedang menangis. Air matanya bahkan sempat terjatuh menitik ke atas piring.

“Kamu nangis?” tanya Jonan. Mendengar Anin memang sudah terisak, Jonan lantas membungkuk kemudian menyusuri wajah Anin. “Kok malah nangis?”

Suami Kedua #TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang