#16. ngapain sih?

613 147 11
                                    

Selepas perjalanan Bogor - Jakarta yang melelahkan, juga kondisi psikis mereka yang sama-sama tidak stabil —mereka memutuskan pulang ke rumah. Tujuan mereka kali ini ialah rumah Nindya. Entah gila atau apa tapi Angga memutuskan untuk menginap di rumah Nindya.

Keberuntungan seolah berpihak pada Angga saat Erlin juga menyuruh pemuda itu menemani Nindya karena kondisi sang gadis dan Dhea yang kemungkinan tidak akan pulang karena sedang ke luar kota. Erlin tidak akan membiarkan Nindya sendiri. Wanita tersebut berinisiatif mengantarkan baju Angga melalui gosend.

"Sumpah lo imut banget pas kecil, kenapa gedenya jadi amit-amit sih?" gumam Angga sembari memperhatikan foto-foto masa kecil Nindya di kamar sang gadis.

"Lu kalo mau julid mending keluar dah dari kamar gua," sinis Nindya. Angga terkekeh.

"Btw, Ngga—" Nindya teringat sesuatu. Sang pemuda langsung menoleh.

"Makasih banyak, udah mau nerima gua." ujar Nindya pelan, wajahnya tertunduk. Sejujurnya ia sangat malu mengatakan ini, hanya saja ia memang harus berterimakasih pada sosok yang kini duduk di depannya.

"Makasih banyak, buat ngga mandang gua sebelah mata. Pokoknya makasih banyak," lirih Nindya lagi.

"You deserved, Nin. Pesen gua cuma ini, jangan pernah ngerasa lo nggak berguna karena nyatanya lo udah hebat banget sejauh ini, jangan pernah ngerasa sendiri karena sekarang lo punya gua." ujar Angga lembut, sambil membelai kepala sang gadis.

"Hmm —satu lagi,"

Angga terdiam menyimak.

"Kalau suatu saat gua nggak sesuai ekspetasi lo, kalau suatu saat gua berubah —apa lo bakal tetap bertahan? Atau justru pergi kayak yang lain?" tanya Nindya, sedikit bergetar.

Angga sontak menggeleng, "lo udah jadi tanggung jawab gua. Apapun itu sebisa mungkin gua bakal terima. Lagipula manusia itu makhluk dinamis yang kapanpun bisa berubah.

Gua nggak bisa ngomong 'lo harus selalu jadi Nindya yang gua kenal ya' —nggak bisa. Karena manusia akan terus berubah seiring waktu, kondisi, dan tuntutan.

Gua bakal seneng kalo lo berubah kearah yang lebih baik. Kalopun perubahan lo menjurus kearah yang buruk, sebisa mungkin gua ngajak lu buat nggak terjerumus."

Kalimat Angga benar-benar menghangatkan hati Nindya.

"Aaaaaa gua mau nangis lagi tapi malu banget lah anjirr??? Dari kemarin nangis mulu di depan lo, muka gua mau taro dimana aduhhhh," umpat Nindya lalu menutup wajahnya dengan tangan.

Kali ini Angga tertawa keras. Suasana sudah kembali normal.

"Coba aja gua engeh buat megang hape, bakal gua foto muka jelek lu kalo lagi sembab," ledek Angga yang semakin membuat wajah Nindya memerah malu.

"Lo ngga ngaca! Mana kemarin lo kan yang nangis duluan?!" sentak Nindya.

"Itu namanya empati!! Empati gua emang tinggi jadi ya gitu lah, wajar," ujar Angga pede.

"Hilih —eh btw, lo udah jadi ngehubungin Olla?" peringat Nindya.

"OIYA ANJIRRRR DARI MALEM GUA LUPA BILANG KE DIA," seru Angga histeris. Ia segera mencari keberadaan ponsel miliknya itu.

"Astaga —8 missed calls, 50 messages," gumam Angga yang masih bisa terdengar dengan jelas. Gadis itu menghampiri Angga dan ikut melirik kearah ponsel sang pemuda.

"Gua kalo jadi Olla udah overthink gila," ujar Nindya memanas-manasi.

"Diem kek," sungut Angga.

"Gua ijin nelfon Olla dulu ya," ujar Angga sembari menempelkan benda tipis tersebut kearah telinga dan berjalan kearah balkon. Nindya mengangguk.

🌠🌠🌠

extraordinary youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang