"Lo udah makan siang?" tanya Zivaa keesokan harinya. Kini mereka tengah istirahat siang di gazebo sekolah.
"Belum, gua nggak laper," jawab Nindya asal.
"Ck, lo mah kebiasaan. Gua pesenin ketoprak ya? Gua juga belum makan nih," ujar Zivaa. Netranya fokus ke layar ponsel sementara mulutnya berbicara.
"Lo pasti mau mesen lewat Jean ya? Nggak usah ih, ngerepotin," tolak Nindya langsung.
"Santai elah, kayak sama siapa aja lu,"
"Nggak usah, Katarina,"
"Nggak apa-apa, Hanindya,"
Setelahnya keduanya tertawa, menyadari kecanggungan bila saling menyebut nama lengkap masing-masing.
"Aneh banget tau Katarina, Hanindya," celutuk Zivaa.
"Emang lo mau gua panggil Isyana?" ledek Nindya sambil tertawa.
"Itu lagi, apaan banget coba Isyana Isyana," sewot Zivaa.
"Lah itukan nama lo sendiri?" setelahnya Nindya dibuat terbahak dengan wajah masam Zivaa.
"Recehan ya lo, dasar!" ejek Zivaa.
Nindya belum juga menghentikan tawa recehnya, namun itu yang Zivaa syukuri. Semenjak kejadian pembullyan itu, ia tak pernah melihat Nindya tertawa lepas seperti ini lagi.
"Kenapa lo tiba-tiba diem? Kesurupan lo?" ejek Nindya.
"Terus ketawa kayak gini ya, Nin. Biar kata kayak kunti juga gapapa. Gua capek liat lo nangis mulu," ujar Zivaa secara lugas.
"Bukan capek nemenin lo nangis, bukan. Tapi gua capek ikut sakit hati, ikut sedih liat lo yang kaya gini. Jadi, ketawa bahagia kayak gini terus ya?"
Nindya tahu, ada kesenduan di balik kalimat Zivaa.
"Iya, Zivaa. Gua usahain. Btw makasih banyak, lo udah berbuat banyak buat gua. Lo masuk ke salah satu orang yang paling gua repotin kayaknya," Nindya tersenyum.
"Nggak nggak! Kebiasaan, gua nggak pernah ngerasa direpotin dan lo nggak pernah ngerepotin siapapun itu. Catet itu. Walaupun gua bukan bagian dari keluarga lo, gua bukan sahabat karib lo macem Alfa —tapi sekarang gua bakal berusaha selalu ada buat lo. Walaupun kita baru kenal SMA ini, tapi gua udah sayang banget sama lo. Lo bagian dari keluarga gua juga, Hanindya. So, please be happy yes? Lo nggak pantes nangisin dunia ini, Nin." lirih Zivaa pada akhirnya. Bahkan tanpa gadis itu sadar, bulir airmatanya telah jatuh.
Itulah Isyana Zivaa Katarina, gadis dengan sifat galak, judes, dingin, dan seringkali terkesan to the point alias frontal —tapi sebenarnya ia adalah gadis yang lembut. Dibanding menenangkan Nindya dengan kata-kata halus, Zivaa lebih sering mengomeli Nindya atas tindakan bodoh sang gadis, Zivaa lebih sering beradu argumen yang berakhir mereka berdua akan marahan.
Tapi itulah sosok yang selama ini Nindya cari, sosok keibuan yang membuat Nindya seolah memiliki pengingat. Sosok yang membuat Nindya tahu batasan. Sosok yang Nindya butuhkan yang justru bukan berasal dari ibu angkatnya, melainkan dari diri sahabat SMA nya.
Bagaimana pun, mau sepedas apapun Zivaa memaki dirinya —tapi gadis itu paling tidak mau melihat Nindya menangis.
Baginya, Zivaa adalah rumahnya.
"Makasih banyak, Ziv. Makasih banyak banget," lirih Nindya tersenyum tulus.
"ELAH CENGENG BANGET GUA," seru Zivaa sambil menghapus airmatanya.
"EMANG LO CENGENG," balas Nindya mengejek lalu tertawa keras.
"Yang lebih sering nangis lo padahal, daripada gua," ujar Nindya lagi tak mau kalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
extraordinary you
Fiksi Penggemartentang sangga yang sempurna dan shaula yang sederhana. tentang kamu yang luar biasa atau kamu seharusnya menjadi biasa? renjun & ningning. © luckyyoungg, 2021.