"Aduh, Ngga, maaf banget ya. Gara-gara papa, kamu jadi telat banget ngambil rapotnya," ujar pria paruh baya yang menatap khawatir jalan di depannya yang diliputi hujan deras. Sembari memegang kemudi, satu tangannya ia lepaskan sejenak untuk membelai surai sang anak.
"Nggak apa-apa, Papa. Lagian kan aku juga yang mau ikut meeting papa," sang anak berusaha menenangkan kekhawatiran sang Papa. Walau dalam hatinya ia tengah merutuki hujan yang amat deras —bukan, ia bukanlah kesal karena keterlambatan sang papa. Ia hanya tidak sabar melihat nilai-nilainya yang ia yakini tidak akan turun dari semester sebelumnya.
"Kira-kira guru kamu nunggu sampai jam berapa?" tanya sang papa.
Sang pemuda melihat arloji hitam yang melingkar di tangannya, "katanya sih batasnya sampe jam dua. Masih ada 20 menit lagi, Pah. Palingan juga sekarang udah sepi, nanti kita nyampe langsung aja ke kelas."
Sang papa mengangguk mendengar penjelasan sang anak. Tak lama kemudian, mobil mereka memasuki pekarangan salah satu sekolah unggulan di Jakarta. Barulah keduanya bisa bernafas lega.
"Aku yakin nilai-nilai aku nggak bakal ngecewain papa," ujar sang pemuda sembari mereka berjalan sebelum memasuki kelas.
"Iya, Papa juga yakin kamu bisa pertahanin semua nilai kamu." timpal sang papa sambil menepuk bahu sang putra kebanggaannya.
Sosok Laksmana Sangga Gerhana Airlangga atau akrab dipanggil Angga itu tersenyum.
Hingga senyumnya luntur dan langkahnya hampir terhenti, berganti kebingungan saat keduanya sampai di ambang pintu kelas.
Di depan mereka, Bu Anya dan seorang gadis masih berkonsultasi mengenai rapotnya.
Kening Angga berkerut, ia kira tinggal dirinya yang belum mengambil rapot.
"Eh —ibu, maaf atas keterlambatan kami. Tadi saya ada meeting mendadak dan hujan deras sedikit menghambat kami," sang papa menghampiri wali kelasnya —memotong pembicaraan gurunya tersebut dengan sang gadis.
Otomatis Bu Anya berdiri sejenak untuk menyalami Papanya. Sementara mereka berdua basa-basi sebentar, Angga ikut maju untuk menyalami Bu Anya.
Ia melirik gadis di depannya yang menunggu. Ia rasanya tak asing dengan gadis di depannya, tunggu—
—jika ia tidak salah, Shaula?
"Ah, kalian duduk dulu ya sebentar. Saya masih harus ngomongin beberapa hal sama Shaula dulu—"
Nahkan, ia benar.
Papanya mengangguk, dirinya pun menyempatkan senyum kepada Bu Anya sebelum menuju bangku tunggu di belakang.
Pikirannya sudah tidak terfokus pada nilai-nilainya, melainkan pada gadis di depannya. Ia hanya bingung, mengapa gadis itu mengambil rapot sendirian? Bukankah peraturan sekolahnya tidak memperbolehkan siswa untuk mengambil rapot sendiri, jika ada yang melakukannya maka rapotnya akan ditahan. Tapi mengapa Shaula tidak? Kemana orangtua gadis itu? Atau jangan-jangan gadis itu menyogok sekolah?
Dan mengapa ia berada paling akhir disini? Sepengetahuannya, pengambilan rapot akan berdasarkan absen kecuali bagi yang sudah izin dan akan kembali dipanggil bagi siswa yang bermasalah. Apakah gadis itu bermasalah? Tapi Shaula bukanlah golongan siswa yang seperti itu.
Eh —mengapa ia perlu repot memikirkannya? Sejak kapan ia peduli?
"Ngga, ayok, kita udah dipanggil," ujaran sang papa menyadarkan lamunan Angga.
Di depannya Bu Anya tersenyum pada siswa kebanggaannya, dan sang gadis sudah tidak ada disana.
🌠 🌠 🌠
"Papa udah duga, paralel satu dan juara kelas pasti selalu milik kamu. Nilai-nilainya pun semakin meningkat, rata-ratanya juga —papa yakin kamu bisa SNM tahun depan," puji sang papa dengan amat bangga. Senyuman terpatri di wajahnya.
"Aamiinn, Pah." Angga ikut tersenyum lebar karena berhasil membuat Papanya bangga, lagi dan lagi.
Mobil yang dikemudikan oleh sang papa telah keluar dari wilayah sekolah, kini mereka bersiap untuk pulang. Hujan deras masih saja mengguyur kota siang itu, tidak ada satupun tanda ingin berhenti.
Sembari mendengar celotehan sang papa mengenai dunia perkuliahan, netra Angga menyapu sepanjang jalan pada sisi kirinya. Orang-orang berebut untuk berteduh pada tempat-tempat yang sekiranya dapat melindungi mereka sementara dari derasnya air yang membungkus kota.
Lampu merah, mobil otomatis berhenti sejenak. Angga kembali melihat kearah luar mobil dan fokusnya jatuh pada halte bus di dekat pertigaan jalan.
Ada gadis itu, yang baru saja turun dari bus umum. Shaula dengan ransel merahnya berteduh sejenak di halte. Angga memperhatikan gerak-gerik sang gadis dari dalam mobil. Sejak gadis itu mengeluarkan —sepertinya rapotnya?— dari dalam tas, kemudian ia masukan laporan nilainya tersebut ke dalam kresek, ia ikat dan dipastikannya rapotnya akan aman, lalu ia kembali masukan ke dalam tas, dan—
—sang gadis mendongkak, seperti memperkirakan berapa lama lagi hujan akan turun? Hingga akhirnya Shaula dengan ransel merahnya nekat menerobos hujan deras tanpa pelindung apapun. Tidak ada payung dan tidak ada jas hujan.
Angga melotot kaget, bagaimana Shaula bisa senekat itu? Bagaimana jika ia sakit?
Lalu, lampu merah berubah menjadi hijau. Dalam laju mobilnya yang berjalan, ia sempatkan kembali untuk melirik gadis dengan surai hitam terurai yang sudah basah di sisi jalan, gadis itu terus melangkah.
Akhirnya Angga memutuskan pandangannya dan kembali menatap lurus ke depan.
13 Desember 2019, saat pembagian rapot semester ganjil dilaksanakan, dengan kesaksian hujan yang sangat lebat —ialah kali pertama Angga memperhatikan gadis selain kekasihnya.
Here, Claurolla Sabrina as Angga's Girlfriend,
hai! ditunggu kritik dan sarannya, juga kerelaan hatinya untuk mem-vote cerita ini, makasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
extraordinary you
Fanfictentang sangga yang sempurna dan shaula yang sederhana. tentang kamu yang luar biasa atau kamu seharusnya menjadi biasa? renjun & ningning. © luckyyoungg, 2021.