#30. dia kembali

305 37 18
                                    

Hari-hari telah berlalu semenjak omongan mama yang sukses membuat Angga pening, ditambah pekan ujian tengah semester yang mulai menggempur harinya. Walau merasa bersalah, pemuda itu juga setengah kesal dengan sang mama dan Zivaa —apa mereka tidak memercayai kesungguhan Angga?

Oke, mungkin dirinya memang salah, tapi tak bisakah ia diberi waktu untuk kembali membuktikan kesungguhannya daripada mama harus berujar seperti itu?

Angga menghela nafas lelah, seumur hidupnya ia seolah tak memiliki cela dan kedua orangtua tak pernah tak bangga padanya. Baru kali ini ia merasa bahwa orangtuanya tidak mempercayai keseriusannya.

Setelah meminjam salah satu buku di perpustakaan, ia melangkahkan kakinya kembali menuju kelas. Ia harus meluruskan masalah ini dan berbaikan dengan Nindya.

"Nggak, gue nggak mau ikut! Udah lo kalau mau jalan sama Jean ya jalan aja sih! Nggak usah ngajak-ngajak!" seruan Nindya dari dalam kelas semakin mempercepat langkahnya.

"Ihh, lo mah nggak asik! Bentar doang! Mumpung besok salah satu mapelnya penjas, nggak usah belajar! Nanti malem baru kita belajar matematika!" sahut satu suara lagi yang Angga yakini suara Zivaa.

Pada pekan ujian tengah semester yang berlangsung seminggu ini, satu hari diisi oleh dua pelajaran. Dan kebanyakan orang melakukan seperti apa yang Zivaa lakukan, aji mumpung besok hanya penjasorkes dan matematika —kebanyakan mereka hanya belajar matematika saja, selebihnya penjas bisa mengarang.

"Je, lo maunya cuma sama Zivaa kan?!" hardik Nindya lagi. Jean hanya mengangkat bahu acuh, tak ingin mencampuri debat dua gadis di depannya.

"Nin, ayo pulang," ujaran halus Angga seketika membuat ketiganya menoleh. Kelas sudah sepi ketika Angga melangkahkan kakinya ke arah meja Nindya.

"Nggak, Nindya bareng gue!" tukas Zivaa galak, gadis itu seolah lupa dengan perdebatannya dengan Nindya.

"Bukannya dia nggak mau?" Angga menjawab dengan kalem.

Nindya menggigit bibirnya, bingung. Ia tidak ingin ikut dengan kencan Zivaa-Jean tapi ia juga tidak ingin berakhir canggung dengan Angga.

"Dia—"

"Ayo," tanpa mendengar ujaran Zivaa lagi, Angga meraih tangan Nindya lalu menggenggamnya hingga ke luar kelas.

"Heh!" Zivaa ingin protes dengan marah, tapi genggaman Jean di tangannya menghentikannya.

"Biarin mereka baikan dulu ya, Ziv?"

🌠🌠🌠

"Makan dulu ya? Biar nanti di rumah kita tinggal istirahat sama belajar," ujar Angga sembari membelokan arah mobilnya ke arah salah satu rumah makan.

Nindya hanya mengangguk. Batinnya merutuki kecanggungan antara dirinya dengan Angga belakangan ini.

"Mau pesen apa?" Angga bertanya sambil menyodorkan menu ke arah Nindya.

"Ng—samain lo aja," jawab Nindya. Angga mengangguk. Setelah pramusaji mencatat pesanan mereka, lagi-lagi atmosfer canggung menyelimuti.

"Nin," Angga berdeham singkat lalu memanggil namanya.

Apa? Nindya hanya menjawab lewat isyarat matanya, juga fokusnya yang kini penuh ke arah Angga. Pemuda di depannya sedikit salah tingkah sambil kembali berdeham.

"Maaf," ujar Angga sedikit lirih.

"Buat apa?" tanya Nindya, heran.

"Buat semuanya, lagi-lagi gue ngecewain elo dan nggak jagain elo dengan baik," lirih Angga.

Sontak Nindya tertawa. Ini adalah tawa pertama yang Angga dapat sejak kejadian itu. "Yaampun, jadi lo canggung sama gue akhir-akhir ini karena ngerasa bersalah gara-gara kejadian itu?" ujar Nindya.

extraordinary youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang