#09. little confess

678 150 16
                                    

Tin! Tin! Suara klakson mobil yang amat kencang mengagetkan Nindya yang tengah berjalan di trotoar. Astaga, apa salah ia? Bukankah dirinya sudah berada di tempat yang benar?

"Woy! Nindya!" teriakan seseorang dari balik kaca mobil itu membuat sang gadis menoleh.

Nindya hanya menaikan satu alisnya, mengisyaratkan ngapain lu?

"Ck, kan gua bilang kita pulang bareng!" teriak Angga lagi.

"Gua nggak mau!" ujarnya singkat lalu kembali melanjutkan langkahnya.

"Woy, Nindya!" geram Angga. Lalu ia dengan iseng kembali membunyikan klakson mobilnya.

"Berisik tau nggak?!" bentak Nindya, kesal.

"Makanya naik!"

"Nggak mau, ih orang batu banget dibilangin!"

"Yaudah gua bakal terus klaksonin elu,"

Tin! Tin! Tin! Tin!

"CK, ELAH!" geram Nindya.

Akhirnya gadis itu berhenti karena risih, menghela nafas kasar sejenak lalu dengan terpaksa membuka pintu mobil Angga.

Salah satu sudut bibir Angga tertarik.

"Kenapa sih lo jadi cowok ribet banget?" dumel Nindya.

"Lo aja yang aneh, orang mah dikasih tumpangan pada seneng, lah ini malah marah-marah," cibir Angga. Nindya mendengus.

"Lu anterin gua sampe halte depan aja," ujar Nindya.

"Sampe rumah lah, aneh!"

"Halte depan aja!"

"Kenapa cuma sampe sana?" tanya Angga memancing.

"Ya gapapa, gua cuman nggak mau ngerepotin lo aja," jawab Nindya jutek.

"Gua nggak ngerasa keberatan sama sekali kok,"

"Ih lo tuh—"

"Kenapa? Apa karena lo mau ke cafe tempat kerja lo? Mau ngajuin surat pengunduran diri?" tanya Angga, skakmat.

Netra Nindya membulat, kaget. Bagaimana Angga bisa tahu?

"Makanya kalo nelfon tuh tau diri, suara jangan keras-keras kayak mau ngomong pake toa," ledek Angga.

Sebentar, Nindya mengingat. Menelfon...? Astaga! Gadis itu menepuk dahi, pasti Angga mendengarnya saat di klinik. Aduh, bodoh sekali dirinya.

"...lo denger semuanya?"

"Jadi lo kerja sampingan buat apa?" bukan menjawab pertanyaan Nindya, Angga justru balik bertanya.

"Iseng," jawab Nindya sambil mendengus. Huft, pasti Angga jelas mendengar semuanya.

"Iseng kok bawa-bawa masa depan?" ledek Angga enteng yang justru membuat Nindya menegang.

Mobil berhenti di tepi jalan.

"Kenapa lo malah kerja sedangkan lo jadi pewaris utama perusahaan keluarga lo?" tanya Angga. Kini tatapannya mengarah lurus kearah Nindya.

"Bukan urusan lo," Nindya membuang pandangannya kearah lain. Ia sejujurnya malas meladeni pertanyaan ini.

"Gua denger, lo udah coba online shop, reseller, bahkan jadi karyawan cafe —buat apa, Nin? Buat apa lo lakuin semua itu? Masa depan lo didepan sana udah terlihat jelas. Kalopun lo mau latihan kerja dari sekarang, kenapa nggak coba magang aja di perusahaan lo?" cerocos Angga panjang lebar.

"Bukan urusan lo, Sangga."

"Urusan gua, Hanindya."

"Liat gua—" ujar Angga. Tubuhnya ia majukan dan menghadap Nindya seutuhnya. Tangannya membawa wajah Nindya —yang semula fokus pada pemandangan di samping kirinya— menjadi menghadap kearahnya.

extraordinary youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang