-Batasan itu selalu ada dalam ranah persahabatan, seperti berada diambang pintu, meski kita tidak bisa membukanya, namun kita belum bisa menutupnya, karna kita masih berdiri disana.-
Melisa..
Dia bukan wanitaku,Ia wanita unik yang selalu menahan tangisan dan emosinya di hadapan dunia, dia biaskan sedihnya dengan tawa lantang, ia menyapu halau dengan canda gurau, ia sirnakan benci dihati hingga muncul lesung pipi menyusul lengkung senyum dibibirnya, hatinya punya kejujuran lebih yang tidak bisa dituliskan dengan ribuan kata dikamus Dunia, maupun dengan ribuan ucapan manis yang dapat diungkapkan.
"Koko Farhan!!"
Itu dia.
Hanya satu orang yang akan memanggilku seperti itu di bumi ini, karna hanya ia yang mengganggap mataku terlihat kecil dan tak berkelopak, sehingga pantas dipanggil seperti itu. Apalagi dengan suara lantangnya yang akan selalu ku kenali dimanapun, meski kali ini sedikit terdengar tanpa tenaga dan bergetar, aku memutar pandangan kearah suara datang.
Melisa..
Iya itu dia, tolong diingat, ia bukan wanitaku.Ia melambaikan tangan, dan melemparkan senyuman, yang ia tarik paksa, seakan masih saja ia harus membuat seisi dunia paham, dia sedang baik-baik saja, meski sebenarnya tidak.
Aku mengangkat tanganku dan membalas lambaiannya.
Ia berlari. Lalu berhenti tepat dihadapanku.
Tanpa kata, hanya diam, dan menatapku.
"kenapa?"
Ia tak menjawab.
Hanya terdiam dan bibirnya mulai bergetar.
Melisa..
Jelas terlihat dimatanya,
Ia meminta pertolongan,
seakan tak sanggup menahan sendirian.Tanpa sadar. kutarik dia masuk dalam dekapku. Aku menepuk punggungnya, menyadari ia tak baik-baik saja. Benar saja, ku dapati ia mengeluarkan suara isakkan. Aku tak mengatakan bahkan sepatah kata, tak juaku bisa untuk bertanya.
Melisa..
Aku kebingungan,
Mengira-ngira, jenis luka apa yang merenggut ceriamu,
Cerita muram mana yang kini jadi alasan tangismu."kenaaapaaa lagi melmel"
Ku bertanya dengan nada penuh canda, beriring tepukan lembut dibahunya,
Melisa..
ia mundur, keluar dari dekapanku,
menatap dengan wajah penuh sedu,Ia menggelengkan kepala dan senyumnya kembali, garis wajah yang seakan kembali bertempat diposisinya, wajahnya yang masih memerah, namun ia terlihat kembali baik-baik saja,
"gatau..tadi gapapa, kebiasaan, ketemu koko, langsung pengen nangis, kayanya gua beneran Cuma bisa nangis kalo deket lo deh ko!"
Melisa..
caramu meyakinkan diri,
tuk kembali menerik setelah mendung bah mentari,
membuatku bangga padamu tanpa titik.Lihat, aku tersenyum Melisa.
"Ko Farhan ngapain ke kampus? Kitakan gak ada kelas!"
"cari buku, untuk tugas kemarin, lu ngapain? Ikut nangis doang?"
Nah, begitu Melisa, kau juga harus tersenyum.
Melisa..
Kau hening lagi?
kau coba lagi bersembunyi?"putus lagi?"
"emmm..yes one of things, tapi udahlah, nanti deh gua cerita ya"Mendengar jawabanmu yang seperti itu terkadang membuatku gusar, seperti bingung kala kamu bersembunyi, tapi juga bukan ranahku untuk membuatmu mengatakan segala yang kamu rasa setiap hari, batasan itu selalu ada dalam ranah persahabatan, seperti berada diambang pintu, meski kita tidak bisa membukanya, namun kita belum bisa menutupnya, karna kita masih berdiri disana.
Aku mencubit hidungnya, hingga dia mengerutkan dahi, sampai hidungnya memerah kala ku lepaskan.
"Farhan! Sakitt dah!!"
Lalu kami tertawa dibawah langit yang tiba-tiba saja mendung, sangat sederhana hal-hal yang kami dapat tertawakan bersama, seringan itu untuk tertawa lagi setelah didera luka, begitulah Melisa,
Ia mengulurkan tangannya kearah wajahku, membuatku melemparkan tatapan aneh setelah tawa mereda,
"kenapa?" lalu setetes air jatuh ketangannya,
"hujan" ia lalu melihat ke langit, lagi-lagi dia memancing tawa kecilku dengan menunjukan ke unikkannya,
Melisa...
kenapa dengan hadirmu saja meringankan pundakku,
mengapa awan gelap tak menutupi cahayamu,
bagaimana bisa menyentuh ujung rambutmu jadi nyamanku,
apa alasanmu terlewat indah dari wanitaku.Hujan tiba-tiba menyerbu tanpa aba-aba, oh, sudah ada sebenarnya, hanya terhalau oleh apa yang dilakukan melisa dengan wajah penuh sinarnya,
"hujan bodoh!"
Ku tarik pergelangan tangannya menuju tempat meneduh,
Dia menarik tangannya dari genggamanku, dan menepuk-nepuk rambutnya yang kini setengah basah, diiringi senyuman yang tak pergi, ia masih disana, menghiasi wajahnya,
"Far, apakabar kak putri? Belakangan semua baik-baik ajakan dengan hubungan kalian?"
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
DIALOG DALAM JIWA
Short StoryKumpulan cerita Pendek, hasil dialektika bersama jiwa.