SEPULUH : SETEGUK PAHIT DENGAN MANIS YANG SAMAR #END

7 0 0
                                    

-Yang terpenting adalah membantu dia tak membutuhkan perempuannya, dan memberikan jalan untuk bertemu yang lainnya, jika suatu hari ia merasa bahwa bukan aku orangnya.-

Aku tahu, tindakanku jadi terlalu memaksa.

Mungkin juga harusnya tidak semestinya kulakukan, aku hanya merasa geram, mendengar pria di hadapanku yang sudah nampak lebih baik dari dulu secara fisik maupun pikiran, seakan tak berkembang masalah perasaan.

Dia tetap bertahan diombang-ambing dan terus menjadi korban perasaan, dihantam habis sampai menangis setiap malam.

Aku jadi merasa tak bijak karena memaksanya untuk teralih seketika, kepada seorang Keira.

Aku mengalihkan padanganku dari Rama, dan melihat keluar jendela, dimana orang-orang hanya berlalu lalang.

"Huftt.. But, yaudahlah kalo gak mau. Lagian kita gak bisa maksain orang buat percaya kalo sebelom jadi kopi campur gini, awalnya di atas  kopi ini ada latte art-nya." tuturku,
Aku tahu, tindakanku jadi terlalu memaksa.

"...Toh, gak semua orang ke tempat kopi buat liat latte art keren yang dibuat sama barista handalnya, ada yang cuma tau minum doang kaya kamu." lanjutku,

Aku menyerah setelah berpikir dan menatap Rama yang hanya menatapku dengan senyuman penuh kebingungan.

Aku hanya tidak suka dia terluka, dan selalu berkata tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka dia datang untuk menyangkal buruknya seorang Raisa.

Aku tidak merasa lebih baik dari pada perempuannya, hanya saja untuk menjadi bagian dari hidup Rama, aku lebih baik mencarikannya orang lain, asalkan bukan Raisa.

"Lain kali, kalo kamu mau pesen Redvelvet, jus, atau hot chocolate pesen aja. Gausah selalu ngikutin aku pesen kopi, jangan dibiasain do something yang ga kamu suka." ujarku,

Rama mengangkat tatapannya seraya berkedip beberapa kali.

"Minum apa yang pengen kamu minum, makan apa yang pengen kamu makan, lakuin apa yang pengen kamu lakuin. Kamu tahu aku gak bisa nerima penolakan, jadi aku cabut ya." lanjutku dengan wajah muram,

Aku beranjak karena merasa sedikit malu, meski tadinya merasa terus memaksakan kehendak untuk menyelamatkan Rama dari pikirannya yang dangkal.

Karena aku memperdulikannya,
Karena aku tak suka dia terluka,
Karena aku selalu menyukainya,
Lebih dari itu, aku mungkin mencintainya.

Grabbb...

Rama menahan pergelanganku hingga aku menghentikan langkahku. Aku terdiam dan menatap kearahnya, mata kami kembali berjumpa dan jantungku berdegup dengan kencangnya.

"Gak apa-apa, aku pesen kopi aja. Meskipun pahit, lattenya ngebantu banget buat nemuin rasa lain selain pahit diantara esspresso." jelas Rama,

Aku terdiam seraya mengangkat alis,

"...Apalagi, ditambah dengan menariknya latte yang dibentuk jadi gambar-gambar bagus." lanjut Rama,

Aku masih tak menangkap maksudnya,

"Jadi... Sejak kapan?" tanya Rama,

"Apanya?" aku balik bertanya,

Rama beranjak dan berdiri di hadapanku, ia menurunkan genggaman di pergelangan tanganku dan turun menuju mengenggam telapak tanganku,

Kami berdiri saling berhadapan dengan mata yang terkunci pasti.

"Latte art-nya ada di atas kopi?" tanya Rama,

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIALOG DALAM JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang