-Aku sudah tidak habis pikir dengan cinta dan kebutaan yang dialami oleh dia. Seakan perempuannya selalu menjadi yang termaafkan apapun kesalahannya, tapi satu kesalahan Dirinya, membuat perempuannya merasa benar untuk melayangkan pukulan kearah kepadanya.-
Aku mengedipkan mataku dan air mata mulai jatuh di pipiku,
"Se, makasih untuk gak bikin aku sekalipun sakit hati setahun ini, dan makasih ketika sekalinya kamu bikin aku patah hati, kamu patahin hati aku dua kali." ujarku,
Rama mengenggam tanganku dengan erat,
"Kamu matahin hati aku sebagai pacar kamu, dan kamu matahin hati aku sebagai sahabat Rama. Kamu tahukan Se? betapa pentingnya Rama di kehidupan aku?" tanyaku dengan linangan air mata,
"Keira, maaf kei..." tutur Sena,
Aku menggelengkan kepala,
"Putus ya! kamu tahu kan aku intoleran, Sena Sendrio." jelasku,
Tanpa banyak berkata lagi aku melanjutkan langkahku, dan keluar dari ruangan olahraga dengan tangan Rama yang masih ku genggam.
Kami berdua berjalan sampai akhirnya Rama menahanku dan menarikku dalam dekapannya, ia menundukan kepala ke pundakku dan menangis histeris membasahi bahuku,
Aku merasakan setiap isakan, dan bahkan bisa merasakan robekan relung hati yang sama.
Aku melingkarkan tanganku ke perutnya dan mendekapnya erat, aku tak sanggup lagi meneteskan air mata. Kali ini alasan Rama menghampiriku tak hanya dasar atas patah hatinya, tapi juga karena ia menemukan fakta bahwa aku juga akan terluka.
"Maaf Kei, maafin aku. Maafin masih selalu lari ke kamu, dan kali ini maaf karena masih secengeng ini ketika kamu patah hati juga." ucap Rama,
Tahun terakhir perkuliahan yang benar-benar tak ingin aku kenang.
Hingga akhirnya ingatan itu merubah pandanganku banyak tentang cinta, tapi tak merubah pandangan apapun tentang pria di hadapanku.
Kami kembali saling menatap di meja kafe yang kami tempati, Rama memutar mata berulang kali hingga wajahnya memerah, kembali ke masa itu adalah sulit, dan kembali ke masa itu adalah sembrawut yang tak bisa kami rapihkan dalam waktu sehari.
Bahkan, setelah dengan Sena. Aku tak pernah melanjutkan hubungan dengan siapapun. Hanya menemani Rama sambil berfokus menata masa depan yang ku dambakan.
"Tapi kan kalo itu mah aku lari ke kamu, dan nyelamatin kamu dari bajingan itu." jelas Rama,
Aku memutar mataku,
"Sena gak bajingan sendiri, Raisa juga." tuturku,
"Tuhan juga maha pemaaf Kei, Aku manusia, dan sayang sama Raisa, mana mungkin aku gak maafin dia. Aku ga sejahat itu." jelas Rama,
"Kamu jahat sama diri sendiri Rama, maafin gak berarti harus jalanin hubungan buruk itu lagi." ketusku,
Rama terdiam karenanya, aku tahu Rama tak bisa mendengar hal buruk tentang Raisa, sampai kapan pun, bahkan setelah kejadian yang mematahkan hati kami berdua di satu waktu,
"...Kamu gak liat? hari itu juga aku lepasin Sena. Dan kamu harus tahu, Aku juga sayang sama Sena saat itu, meski gak bisa lewatin rasa sayangku sama kamu." lanjutku dengan tegas,
Lontaran kata bukan hanya seketar kumpulan frasa yang coba ku lontarkan. Namun, Rama memang tidak pernah bisa konsisten jika itu terhubung dengan Raisa.
Hanya butuh satu minggu hingga akhirnya mereka kembali bersama, dan melanjutkan hubungan panjang mereka.
Aku sudah tidak habis pikir dengan cinta dan kebutaan yang dialami oleh Rama. Seakan Raisa selalu menjadi yang termaafkan apapun kesalahannya, tapi satu kesalahan Rama, membuat Raisa merasa benar untuk melayangkan pukulan kearah Rama.
"Emmm.. You Right!" ujar Rama,
Aku menarik nafas dalam dan menatap kearahnya, Aku kembali pada pembahasan awal yang malah membuat kami harus terus menerus kembali pada alasan Rama selalu berlari kearahku,
"So? How?" tanyaku bersikeras,
Rama menggelengkan kepala, Aku memutar mata tak habis pikir dengan keteguhannya.
"Kita tuh udah temenan lama, Kei. Temenan lama ini gak baik-baik aja, sama debatnya, sama perselisihannya, sama banyak gak sepakatnya." jelas Rama,
Aku menganggukan kepala,
"Yaaa.. kalo gitu tinggal berantem." singkatku,
Rama menyernyit dahi,
"Iya, kaya kita selama ini, berantem tapi akhirnya balik lagi, temenan lagi, saling sayang lagi, saling lindungin lagi. Aku pikir gak ada yang lebih baik buat kembali baik lagi, berkompromi dan bikin semuanya semakin baik, kecuali antara aku sama kamu." lanjutku,
Rama menganggukan kepala, seraya menarik senyuman tak ada sepatah katapun.
"...Gini loh Ram. Kita boleh berantem, kita boleh saling bikin patah hati satu sama lain, tapi ayo buat saling jatuh cinta lagi setelahnya, boleh marah, boleh berantem, tapi jangan ada yang pergi, karena kita bisa jadi tempat pulang satu sama lain selama ini." lanjutku masih bersikeras,
"Lah? bukannya selama ini kamu yang jago pergi? ganti-ganti cowok mulu." tukas Rama,
Aku menganggukan kepala,
"Tapi.. aku pergi gak dari kamu?" ujarku,
Rama mengangkat pandangannya dan kini padangan mata kami saling mengunci, aku tidak bisa menutupi perasaan ini lagi,
Jika aku terus bicara bahwa ini adalah untuk membuat Rama tak patah hati lagi, mungkin aku sedikit menamengi diriku. Karena sebenarnya, aku juga ingin membobol batasan diantara kami.
Karena perasaanku yang tak ingin berhenti dan hanya menjadi sahabatnya lagi.
"Gak boleh ada hubungan yang di dasari oleh sekedar rasa pengen saling ngelindungin aja Keira Maharani." jelas Rama dengan mata yang mengunci,
Aku menganggukan kepala dan menarik senyuman,
"...Harus ada rasa cinta di sana." lanjutnya,
"So.. i love you." ucapku tanpa banyak berpikir,
Rama membelalakan matanya, Aku yakin itu hal yang sangat mengejutkan untuknya. Sahabat yang selama ini selalu ada di sampingnya, selalu siap menjadi sandaran pada setiap patahnya oleh perempuan yang sama. Perempuan yang berkhianat sekalipun Rama tetap kembali padanya.
"Emang kamu tuh, Kei. Mudah banget ngomong hal yang maknanya seberat itu. Jangan pernah ngucapin sesuatu yang pernah kamu rasain." ucap Rama seraya meraih cangkir kopinya dan mulai menyeruputnya,
Aku memutar mata seraya mengambil cangkir kopiku, dan turut menyeruputnya, mataku menatap kearah latte art yang sudah tak terbentuk dengan indah,
Aku menyadari bahwa perasaanku pada Rama sebenenarnya sudah tumbuh sejak awal. Seperti Latte Art yang sudah dibentuk sejak kopi mulai disajikan, namun lama kelamaan diminum meski perlahan bentuknya jadi tak karuan, hingga akhirnya bisa jadi membingungkan dimata,
'Apakah kopi ini atasnya ada latte art , atau engga.'
"Rama, Kalo di minum terus, lama-lama latte art-nya gak nampak kan ya? tapi tetep gabisa dipungkiri bahwa kopi ini dibentuk, dan di sajikan sama latte art-nya, ada campuran susu di sana yang gak bisa kita pungkiri kehadirannya, meski..." tuturku seraya menyimpan kembali kopi di atas meja,
Rama melihat kearah cangkirku,
"...Keliatannya seperti gak pernah ada Latte art di atas kopinya." lanjutku,
Rama menaikkan pandangannya memahami bahwa setiap ucapanku punya makna lain yang mengarah kepada obrolan kami.
"Jadi?" tanya Rama,
"Meskipun gak pernah keliatan, dan gak pernah diucapin di hari-hari sekarang, perasaan itu emang selalu ada di dalam diri aku, Rama." jelasku,
Rama terdiam, bingung tanpa kata yang bisa ia benahi dalam pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIALOG DALAM JIWA
Short StoryKumpulan cerita Pendek, hasil dialektika bersama jiwa.