-bukan masalah waktu dan keberadaan, bukan karna kapan, semua hanya serumpun alasan, intinya hanya satu, hati saya yang memang bukan dia empunyanya-
Waktu berlalu seperti film berdursi tiga jam, namun dengan sekuel yang masih saja ditunggu dan belum menemukan titik akhir, meskipun saya paham betul, waktu di Bumi ini akan menemukan titik akhir, hanya dengan kematian, setidaknya untuk diri sendiri, tubuh sendiri, dan dunia kecil yang dimiliki sendiri,
Ahh.. Gila
Kata 'sendiri' rasanya mulai menjadi momok yang mengendap didalam dada, hingga ada sesuatu dalam diri, yang berteriak keras, sampai isi kepala terasa begitu sibuk beradu, diiringi denyutan diantara urat kepala, Saya rasa akan ada letupan di malam pergantian tahun ini, tidak hanya di langit malam diluar sana, tapi di kepala saya juga.
Sebenarnya ini akan terdengar seperti keluhan demi keluhan, tanpa tahu siapa yang harus disalahkan. Bumi berputar seenaknya, memilih keputusan yang kadang tidak bisa Saya sepakati, seperti mengkhianati saya dengan kisah yang gagal berulang kali,
Kalimat manusia diciptakan berpasangan, bagi saya sudah terasa seperti bualan , Saya dilempar berulang-ulang, diberi kesempatan untuk menumbuhkan sebuah perasaan, namun jadi gusar , karna kisah yang selalu berakhir seperti bertepuk sebelah tangan, sekalinya ada hati yang sepakat, selalu tumbuh dalam hati ini rasa bosan yang tidak bisa diatasi, bahkan setelah berdua, hingga akhirnya ambil keputusan untuk sendiri-sendiri lagi.
Pernah tidak bosan, saat sedang belajar jadi perempuan setia, namun berakhir dengan pengkhinatan, selalu ada cara bumi untuk mempertemukan dan menumbuhkan rasa yang jadi sia-sia, jadi tak berguna, namun menyakiti diri saya dengan kesulitan luar biasa untuk melupa.
Saya pandangi langit malam yang menjadi atap bagi kafe di Daerah Bandung atas ini, tempat yang selalu ramai di malam hari, tempat saya merasa dekat dengan langit, dan dapat mengeluarkan keluhan seperti saat ini, meski hanya gaduh dalam hati,dan bungkam bibir ini, namun saya tahu, yang dilangit mendengar lebih jelas dari yang saya pikirkan.
Kriett..
Sebuah tarikan kursi mengancurkan lamunan. Saya rasa, sudah hampir jadi bangunan kecil, mungkin sebuah gubuk dalam pikiran, yang segera akan dapat saya huni dalam kesendirian.
"sudah-sudah! Sudah tahun baru, sudahi melamunnya, masih melamuni apa sih? Tentang kesendirian lagi?"
Pandanagan saya teralih pada Pria berkaca mata, berkulit cukup putih untuk ukuran orang indonesia, dengan mata bulat juga lesung pipi tipis diujung bibirnya, Rambut hitam yang kira-kira baru disemir dua hari lalu, karna terakhir berjumpa masih berwarna terang seperti pria-pria idola dari negeri ginseng sana, ia yang selalu menjadi teman berbagi, kala saya kesal dan merasa tak di dengar Bumi, ia menyodorkan segelas kopi susu panas yang biasanya saya pesan sendiri,
Pertanyaannya membuat saya menggaruk punggung kepala yang padahal tidak terasa sedikitpun gatal, saya hanya bingung harus berkata apa, dia sudah tahu semua, bagaimana cara saya merasa bumi terus mengecewakan saya, karna kisah luka dan sendirian yang jadi bahan obrolan kami selama 5 tahun berkawan, setelah saya lulus dari universitas.
Oh iya.. namanya Andrea, Adik tingkat saya, baru lulus 3 tahun lalu.
"diminum dulu kopinya, nanti dingin, kak diana kan gak suka kopi dingin"
Saya mengambil gelas berisikan kopi susu itu, dan menyeruputnya. Sebagai kawan yang tahu saya selalu merasa sendirian, Andrea adalah yang terbaik karna membuat Bumi saya sedikit bercahaya dan ramai, mungkin karna dia lebih muda dari saya, makanya dia punya banyak hal untuk mengisi kekosongan ini,
Meski, seramai apapun, sesering apapun kami bersama, saya masih seperti ini saja, merasa sendirian, kadang saya meminta pada bumi, untuk mengatur hati saya, dan biarkan berkiblat pada pria didepan saya, tapi bumi seperti tidak beri celah, hati saya seperti enggan untuk ikut campur hadir dengan raga saya yang berjalan bersama dia.