-Perempuan menyebalkan yang membuat Ia jatuh cinta itu kadang tak masuk akal, kedewasaan apa yang sebenarnya ia harapkan dari seorang anak laki-laki berusia 15 tahun yang baru saja merasakan cinta pertamanya.-
"What.. the.." kaget Rama,
Aku memundurkan tubuhku seraya menarik kedua tangan sambil bersandar disenderan kursi dengan tatapan yang konsisten,
"...Kok what the sih? di antara semua orang bukannya kita yang paling saling paham? terus masalahnya dimana?" lanjutku,
Rama menggelengkan kepalanya seakan kewalahan dengan sikapku, kami saling menatap dan memperhatikan setiap garis wajah masing-masing.
Mungkin memang tidak bisa dielak, tapi tidak bisa juga terlalu ditekan.
Fakta bahwa kebersamaan kami bahkan lebih lama dari sekedar pertemuan bergilirku dengan para pria, dan pertemuan panjang Rama dengan seorang Raisa.
Kami bersama sebagai Teman, musuh, dan orang terdekat sejak kelas 10 SMA, meski usia kenal sudah sejak Sekolah Dasar, kami baru menjadi kawan emosional sejak mulai paham apa yang namanya urusan hati.
Dan, akhirnya menjalani hidup dengan bidang kesukaan yang sama.
'Yaitu Seni'
Yang membuat dunia menyatukan kami pada tempat yang tidak terduga, sama, dan berulang kali. Sejak berkuliah bahkan ketika bekerja hari ini.
"But, We are great being a friend, Keira Maharani. Ngaco kamu, tiba-tiba! kamu mau jadiin aku objek bergilir kamu? terus nanti kita gak akan temenan lagi gitu? ketika kamu mutusin untuk gak sama-sama dengan aku lagi?" ketus Rama dengan mata yang berkedip beberapa kali,
Aku memutar mata mendengar pernyataannya seakan pergantian pria dalam hidupku adalah kehendak sesuka hati tanpa berpikir yang kulalui.
"Engga! objek bergilir apa sih? emang putus dan ketemu orang baru kehendak aku? that's not my decision loh?! manusia emang gitu Rama, bertemu buat berpisah, terus setiap massanya emang punya batas, kalo udah ga cocok yaudah, gak kaya kamu sama Raisa." ketusku,
"Cih! emang kamu orang nomor satu yang paling skeptis sama Raisa." Rama menahan tawa,
"iyalah! aku tahu dia jadiin kamu tempat singgah berulang kali, dan seenaknya pergi setiap kali pengen pergi." tekanku semakin ketus,
Rama kini mulai tak bisa menahan tawanya, ia tertawa lepas dengan wajah memerah.
"Yaaaa.. That's why, we are great being a friend, No more.. Right? Kamu yang udah paling ngerti sisi emosional aku dan gak akan pergi seenaknya." tutur Rama seraya membulatkan matanya,
Brakkk!
Aku menepuk meja dengan tangan kananku.
"Salah! Kita harus coba dari sekedar temen." ucapku dengan tawa kecil,
"Gila kamu." ujar Rama,
Rama mulai menggelengkan kepalanya tanpa henti dan kembali menyeruput kopinya,
Analoginya, aku dan Rama seperti setiap kopi pahit yang aku pesankan untuk Rama setiap kali salah satu dari kami dalam keadaan perasaan buruk.
Dan, nyatanya.
Jika itu adalah yang kupesan, dalam tidak tahu sekalipun, Rama akan tetap meminumnya.
"Justru aku sadar, Rama Dharmana. Kalo kamu gak suka pahit, sebenernya kamu bisa kapan aja bilang gak mau lagi jadi juru coba kopiku. Tapi, setiap kali aku pesenin yang sama, kamu pasti minumkan? tahu gak itu karena apa?" tanyaku dengan percaya diri,
KAMU SEDANG MEMBACA
DIALOG DALAM JIWA
Short StoryKumpulan cerita Pendek, hasil dialektika bersama jiwa.