Ramen

335 44 0
                                    

Rena menghapus kasar air matanya yang terjun bebas. Ntah kenapa air matanya bisa jatuh begitu saja.

Rena melirik ke arah pintu dan sedetik kemudian dia berlari sekencang-kencangnya dengan tangan yang masih bergetar dan lutut yang dipaksakan tetap kokoh walau terasa seakan kehilangan kekuatannya 

Belum sampai Rena ke depan gua yang menjadi jalan keluarnya, seseorang berhasil menggenggam pergelangan tangannya. Akira menarik Rena kembali ke dalam ruangannya. Sisa tenaga yang hanya sedikit membuat Rena tak bisa melawan.

“Maaf soal tadi” kedua tangan Akira memegang pundak Rena dan menekannya pelan hingga membuat Rena terduduk di sebuah kursi. Rena tak menawab, hanya menatap mat hitam Akira dengan lekat.

“Aku susah mengendalikan diri kalau menyangkut dengan orang yang kusayangi. Aku juga lelah hidup dengan memikul beban begini, aku juga mau berhenti, tapi aku tak tau harus kuapakan rasa benci ini.”

Rena melepas kedua tangan akira dari pundaknya dan menggenggam kedua tangan Akira dengan pandangan yang masih mengarah pada Akira. “Aku akan bantu.” Rena bangkit dari kursinya, kali ini dia melakukan hal yang Akira lakukan seelumnya, memegang pundak Akira dan menekannya pelan membuat Akira duduk di sebuah kursi. “Kau bisa membagi rasa benci itu padaku, dan kita akan menghilangkannya bersama, tanpa menghancurkan sebuah desa, tanpa membunuh seseorang.” Lanjutnya.

Sekarang sepertinya tenaga Rena sudah kembali pulih. Hilang sudah ketakutan yang sempat menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia pikir dia harus membantu Akira dahulu sebelum kembali ke dunianya walau tidak tau harus bagaimana.

Rena melangkahkan kakinya mendekati pintu, lagi.

“Aku antar.” Akira mebuka suara. Rena menatap Akira, ragu mengiyakan tawaran Akira. Kalau Akira tau ia tinggal di konoha, bisa-bisa Akira menolak Rena untuk menghilangkan dendam pada Akira.

“Kalau kau khawatir aku tau desa yang kau tempati sekarang, itu sia-sia. Aku sudah bilang kan kalau aku tau tentangmu.”

Rena sedikit membulatkan matanya mendengar ucapan Akira. Bagaimana mungkin Akira tau banyak hal tentangnya, bahkan mungkin pikirannya. Sedangkan Rena tidak tau apapun tentang Akira.

“Sudahlah. Jangan terlalu banyak berpikir.”

Lagi-lagi Rena menuruti Akira. Mereka berjalan sejajar. Jika sebelumnya Akira yang menatap Rena diam-diam, kali ini Rena yang melakukannya. Rena berpikir, selalu ada alasan orang berbuat jahat. Walau ada juga yang akan terus berbuat baik walau telah disakiti beruang kali.

Setidaknya Rena mempunyai alasanya yang cukup untuk memaklumi Akira. Dan sekarang Rena mencoba menyelamatkan desa yang disukai. Dalam diri Rena sebenarnya ia ragu apa ia bisa melakukannya.

“Sampai sini saja ya. Aku akan sibuk menjawab pertanyaan dari para penjaga jika memaksa mengantarmu sampai dalam desa.”

Gerbang besar desa konoha telah terlihat di ujung sana. Tentu saat Rena setuju dengan Akira. Lagipula dia tak ingin menjelaskan apapun pada Shino dan yang lainnya.

“Dari mana saja kau?” Shino bangkit dari sofa dan berdiri tepat di hadapan Rena. “Bukankah sudah ku bilang kau tidak boleh kemanapun tanpaku, itu karena kau-”

“tawananmu? Bukan kan? Aku hanya mencari udara segar. Karena kau meninggalkanku sendirian di sini, aku kesepian. Kau tau aku bukan dari sini”

“Kau harus bisa bersahabat dengan rasa sepi di hatimu. Terkadang, ada saatnya seseorang hanya sendirian dan dilupakan.”

“Pfft” Rena memegang pertu dan menutupi mulutnya, “hahahahahahha” tawanya pecah, tak bisa ditahannya, “Maaf” Rena menghapus sedikit air mata ujung matanya, tawanya mereda. Shino tentu saja menatapnya dengan heran. “Apa kau sedang membicarakan dirimu?” lanjutnya dengan berusaha tak mengeluarkan tawanya lagi.

Ekspresi shino berubah, seharunya Rena tau itu. meskipun matanya tertutupi kacamata hitam, raut wajah dan suasanya di sekitar Shino sudah cukup menjelaskan.

“Maaf, aku nggak bermaksud-” Rena menggigit bibir bawahnya, ia tau Shino adalah karakter yang mudah tersinggung. Kenapa dia melupakan itu. “-bercanda, aku hanya bercanda.” Rena menganggat kedua jarinya membentuk simbol damai dengan senyum canggung.

Shino tidak mempedulikan Rena, ia balik arah dan menuju mini dapurnya.

“Mandilah. Aku akan membuatkanmu ocha.” Ucap Shino. Rena yang tadinya berniat menyusul Shino ke mini dapur mengurungkan niatnya dan menuruti ucapan Shino.

Setidaknya Shino tetap memperlakukanku dengan baik di sini. Aku haruslebih berhati-hati dengan ucapanku pada Shino, batinnya.

***

Hari demi hari terus berlalu, sepertinya Rena mulai melupakan tujuannya untuk mencari cara supaya bisa kembali ke dunianya. Untuk saat ini dia menkmati masa-masa di dunia yang tak pernah terpikir bisa dimasukinya.

Shino sering meninggalkan Rena di rumah sendiri saat Shino sedang menjalankan misi. Hal itu sering dimanfaatkan Rena untuk menemui Akira. Mereka sudah sering menghabiskan waktu bersama, bahkan sudah mulai membuat suatu rencana supaya Akira bisa tinggal di salah satu wilayah konohagakure yang tidak berpenghuni. Akira meminta bantuan kepada Rena agar Rena membujuk Shino menyampaikan gulungan permohonan melalui Shino dan memberinya kepada hokage.

Tentu hal itu disetujui oleh Rena yang memang menginginkan Akira melupakan dendamnya dan bisa hidup tanpa beban.

“Ayolah. Bantu aku sekali ini aja.” Rena menyatukan kedua telapak tangannya sebagai tanda memohon dengan posisi berdiri di hadapan Shino yang sedang memakan semangkuk salad kesukaannya.

“Sudah berapa kali aku bilang tidak bisa, karena mereka harus mnyerahkannya secara langsung. Kan kau bilang kau pernah bertemu dengannya, itu berarti dia berada tak jauh dari sini, lebih baik dia menjelasan secara langsung kepada hokage.”

“Dan sudah berapa kali juga aku memohon? Ini penting. Kau pernah bilang kan menolong orang itu perbuatan baik? Kenapa kau susah sekali dibujuk sih?”

“Kenapa kau susah sekali diberitau?”

“Sial! Kau menyebalkan.” Rena menunjukkan ekpresi kesal yang sering ia tunjukkan pada Shino. Kedua telapak tangannya yang sempat menyatu, kini masing masing berada di sisi Rena.

Baru satu langkah kaki yang Rena ambil untuk meninggalkan Shino, Rena merasakan pergelangan kakinya dikelilingi sesuatu yang menggelikan. Mata Rena segera mencari tau penyebabnya.

“Aaaaaaaaaaaaaa!!!!!!” puluhan-tidak, bahkan ratusan-serangga hinggap di kedua kaki Rena. Rena menghentak-hentakkan kakinya ke bumi dengan harapan serangga itu lenyap dari kakinya, bahkan pandangannya. Tapi nihil. Seharusnya Rena tau itu bukan serangga biasa.

Sang pemilik serangga mengukir senyum simpul di wajahnya yang tampan. Sepertinya ia menikmati pertunjukannya di hadapannya sekarang.

“Shino sialann. Singkirkan serangga ini dariku!!!”

Shino tersadar dari kesenangan yang tak disadarinya. Dengan aba-aba yang hanya diketahui oleh Shino, serangganya mulai lenyap dan terbang ke arah Shino dan hinggap di sana. Pada detik itu juga Rena berhenti berteriak.

Kali ini Rena tak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya tatapan dingin yang ditunjukkan pada Shino.

“Maaf”

Rena menghela napasnya tanpa merubah ekspresinya. Kembali memunggungi Shino dan mulai melangkah menuju keluar.

Sekali lagi langkahnya terhenti, tapi bukan karena ribuan serangga yang bisa membuat Rena menjerit, melainkan genggaman hangat dari tangan Shino.

“Ayo kita makan ramen”

“Hah? Kenapa tiba-tiba kau mengajakku makn ramen?”

Difference [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang