Three Mancells Team

297 37 0
                                    

Sementara itu saat Rena mendengar kalimat Naruto mengenai akatsuki, tiba-tiba dia teringat lambang akatsuki di depan tempat ia dan Akira bertemu.  Rena mengira-ngira apa yang dimaksud Naruto barusan.

“Hinata, aku sudah menduga kau di sini. Sekarang cukup mudah menemukanmu karena kau sering ke Ichiraku bersama Naruto”

Semburat merah tampak di kedua pipi Hinata.

“Apa sudah selesai berkecan?”

‘K-Kiba-kun” sebut Hinata memperingatkan untuk tidak mengatakan hal seperti itu, Kiba tertawa melihat respon Hinata yang tetap sama selama bertahun tahun. Ternyata dia masih malu-malu jika Kiba menggodanya tentang Naruto, dan Naruto tidak tampak keberatan dengan itu, tapi tidak terlihat senang juga. Wajahnya biasa saja, sepertinya masih belum sadar dengan jelas tentang perasaan Hinata.

“Ngomong-ngomong Hinata, tim 8 dipanggil ke Hokage, sepertinya kita akan mendapat misi baru, yakan, Akamaru?” Akamaru menggonggong dengan keras menyahuti tuannya.

“Kiba, apa kau tidak menganggapku tim 8 juga?”

“Shino? Maaf, maaf. Tentu saja aku menganggapmu. Aku juga mengajakmu, bukan hanya Hinata.”

“Pasti dia bohong Shino, daritadi dia hanya mengajak Hinata berbicara” timpal Naruto dengan tawa.

“Naruto! Jangan panas-panasin Shino.”

Hinata hanya tersenyum melihat kelakuan mereka. Rena sudah terbahak-bahak melihat tingkah Shino yang terlalu baperan, sedangkan Shino hanya melirik kesal ke arah Rena. Tawa Rena yang tidak biasa ternyata mengundang perhatian, terlalu bersemangat menertawakan Shino hingga dia tak bisa mengontrol suaranya. Tentu saja hal ini membuat Kiba penasaran siapa Rena yang berani beraninya menertawakan Shino yang baperan.

“Ooh, jadi kalian sudah lumayan dekat? Apa aku satu satunya yang sedang sendiri di sini?” Kiba menyimpulkan seenaknya setelah mendengarkan cerita Rena. Akamaru menggonggong tidak setuju dengan ucapan Kiba, “Oh tentu saja kau ku anggap Akamaru, yang ku maksud sendiri itu karena di kelompok 8 hanya aku yang belum memiliki.. hmm, ya kau tau” lanjutnya. Rena menundukkan kepalanya dalam-dalam, dia merasa wajahnya menghangat, Rena tidak mengerti dengan jalan pikirannya kenapa dia diam bahkan dia yakin barusan dia tersipu karena omongan Kiba, kenapa tidak ada penolakan ataupun penjelasan dengan kesalahpahaman ini.

***

“Pasti kalian sudah dengar berita tentang rencana kebangkitan akatsuki” Rokudaime memulai membicarakan misi ketika tim 8 sudah berada di ruang hokage. “Menurut laporan, saat ini mereka berjumlah enam orang dan akan terus menambah anggotanya untuk keberhasilan misi mereka, yaitu mengendalikan kepribadian. Sebelum itu terjadi, kita harus mencegahnya.” Kakashi berhenti sejenak, menunggu respon dari mereka.

“Mengendalikan kepribadian? Sensei, apa maksdunya ini?” Kiba tak bisa menutupi rasa penasarannya.

“Mereka mampu mengendalikan diri kalian sepenuhnya jika pengumpulan chakra dalam jumlah besar berhasil mereka lakukan. Saat ini mereka sedang berusaha menambah jumlah anggota agar pengumpulan chakra bisa dilakukan dengan waktu yang singkat.”

“Jadi sekarang mereka belum mampu mengendalikan siapapun sebelum chakra itu terkumpul?” Kali ini Shino yang mencoba mencari tau lebih banyak lagi.

“Untuk saat ini kita bisa menganggap begitu, tapi jangan lengah. Kita belum mendapat informasi seluruhnya. Dan mereka terus berpindah-pindah, dan tugas kalian adalah menemukan mereka dan membawa mereka dalam keadaan hidup jika memungkinkan.”

“Jika memungkinkan?” Kali ini Hinata membuka suaranya.

“Mereka yang telah menjadi anggota, akan loyal pada organisasi ini. Mereka memiliki tato seperti kutukan yang akan mempengaruhi pikiran mereka bahwa mati lebih baik daripada mengungkapkan informasi kepada musuh.” Kakashi memberi jeda, dan memberi sebuah gulungan pada tim 8. “Jika kalian menemukan persembunyian mereka di beberapa tempat, segera informasikan ke sini. akan lebih efektif jika satu markas ditangani oleh satu three mancells team.”

Setelah menerima semua informasi yang dirasa perlu dan waktu kepergian untuk menjalankan misi mereka telah ditentukan, mereka bubar untuk menyiapkan segala keperluan.

“Jadi kau akan pergi dalam waktu yang nggak ditentukan?” Tanya Rena saat ia melihat Shino memasukkan keperluannya di tasnya.

Shino menghentikan aktivitasnya dan beralih untuk menatap Rena, “Apa kau akan merindukanku?”

“A-Apa? Mana mungkin. Gi-gimana bisa kau mengatakan hal itu?!”

“Aku hanya bertanya” Jawab Shino santai dan langsung melanjutkan memasukkan keperluannya.

Rena mengalihkan pandangannya keluar jendela, merasa bingung pada dirinya sendiri, bertanya-tanya pada dirinya apa barusan dia salah tingkah. Setengah dirinya mengakuinya dan setengahnya berusaha keras untuk menolaknya, bagaimana bisa dia salah tingkah saat Shino mengucapkannya dengan ekspresi yang biasa-biasa saja.

“Aku pergi dulu. untuk sementara, jangan berkeliaran kalau memang tidak melakukan hal yang penting”

“Berkeliaran? Emang aku anak kucing”

“Yang harus kau lakukan saat ini adalah mengikuti perkataanku. Aku ingin kau baik-baik saja.” Shino mengacak rambut Rena pelan dan cepat, hanya beberpa detik, bahkan Rena sebelum Rena menyadarinya. “Sudah ya.” Shino memakai sepatunya, sebelum akhinya menutup pintu dan meninggalkan Rena sendirian.

Rena masih berdiam diri di tempatnya. Tangan kanannya bergerak menuju ujung rambutnya yang tadi disentuh oleh tangan Shino. “barusan dia mengacak rambutku kan?” ucapnya pelan. Dia merasakan kedua ujung bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang tak bisa ditahannya. Tangan kirinya menggigit kuku ibu jarinya, matanya memejam dan senyumnya belum juga hilang sampai-

“Apa yang kau lakukan?” Shino mengambil tas kecil yang berisi, kunai, shuriken, bom kertas, dan perlengkapan lain di atas meja yang tidak jauh dari pintu. Rena yang berdiri di mini dapur, tentu saja terlihat oleh Shino yang berada beberapa meter di hadapannya. Yang terlihat oleh Shino saat ini adalah Rena yang sedang menutup mulut dan memegang kepalanya, ditambah matanya yang terpejam. Posisi memalukan yang tidak bisa ditebak apa yang sedang dilakukannya.

“A-Aku…” Rena memikirkan alasan apa yang paling logis. Tapi ntah kenapa saat ini dia tak bisa memikirkan alasan yang bagus. “Senam. Ya, aku lagi senam. Tubuhku sudah terlalu kaku” ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Bukankah ini alasan yang masuk akal?

“Baiklah. Sampai jumpa”

Rena merebahkan dirinya di kasur begitu Shino menutup pintunya. Ia menatap langit-langit kamar beberapa detik sebelum akhirnya mengguling-gulingkan tubuhnya ke kanan dan kiri karena mengingat betapa memalukan posisiya saat Shino masuk tadi. Tidak hanya itu, dia juga menendang-nendang kakinya ke udara lalu kembali mengguling-gulingkan badannya lagi. Ntah apa tujuannya melakukan hal itu.

“Awwww” Rena mengusap-ngusapkan tangan ke dahinya yang baru saja berkenalan dengan lantai. Mungkin ia tak akan berhenti melakukan hal memalukan jika saja ia tak tersungkur karena tak memperhatikan ukuran kasurnya.

Kaki yang masih di atas kasur dan kepala yang telah bertemu dengan lantai membuat Rena sedikit kesulitan bangkit dari posisi abstraknya. Kedua tangannya mencoba meraba-raba sesuatu untuk menjadi pegangannya sampai akhirnya dia menyentuh benda yang diyakini Rena sebuah buku. Dengan sigap ia menurunkan kedua kakinya dan segera meraih buku yang tidak sengaja disentuh oleh ujung jemarinya.

Padahal beberapa menit yang lalu ia kesulitan bangkit dari posisi anehnya, tapi karena penasaran bisa dengan mudahnya ia menemukan cara bersikap seperti semula.

Rena memperhatikan buku yang barusan ditemukannya. Buku yang tidak asing bagi Rena. Ia tau buku itu, buku berwarna hijau tua yang diyakininya menjadi penyebab ia berakhir di rumah sakit konoha saat itu.

“Aku pikir buku ini udah hilang”

Rena membuka lembar demi lembar buku itu, tulisan hanya ada pada lembar pertama, lembar-lembar selanjutnya hanya kertas putih kosong tanpa noda. Sampai pada dua halaman terakhir, Rena mendapati kalimat yang ditulis dengan tinta merah, yang cukup membuat dahinya berkerut dan alisnya bertaut.

Difference [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang