Rena hanya memandangi Shino yang menuju mini dapur dan segera memasak air panas, setelahnya Rena melihat Shino mengambil satu dari sudut meja dan satu gelas dari rak penyimpanan yang berada di atas dan cukup tinggi. Rena mengingat hari hari pertama Rena berada di apartemen ini, ia sangat kesusahan mengambil gelas karena memang tubuh Rena yang bisa dikatakan pendek, saat itu selalu ada Shino yang membantunya mengambil gelas itu dengan mudah karena tinggi rak penyimpanan itu tentu saja sudah diatur sesuai tinggi badannya. Karena itulah Rena selalu menempatkan gelasnya di sudut meja agar ia tidak kesusahan saat akan menggunakannya.
Rena ingat dia pernah liat beberapa kunai di laci nakas yang berada tepat di samping ranjang. Tidak sulit menemukan kunai di apartemen Shino, mungkin sebagai shinobi Shino cukup baanyak memiliki kunai ataupun shuriken, ya walau pastinya tidak sebanyak milik Tenten.
Dengan cepat sebuah kunai yang tadinya di laci telah berada di tangan kanan Rena, sementara tangan kirinya memegang pena Kakashi dan penutup kepala milik Shino. Air yang dipanaskan Shino sudah menampakkan buih buih besar khas air mendidih.
"Terima kasih Shino. Maafkan aku. Aku mencintaimu." Ucap Rena pelan. Nyaris berbisik. Air mata Rena jatuh lagi. Wajahnya benar-benar terlihat sembab sekarang.
Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu, Rena melangkah lebar dan menusuk kaki kiri Shino dengan kunai yang digenggamnya. Shino ambruk dihadapannya. Rena sadar Shino tidak mungkin selemah itu, jatuhnya Shino mungkin hanya karena keterkejutan dan tidak siap menerima serangan tiba-tiba, bukan karena Shino merasakan sakit yang luar biasa. Karena itu Rena langsung menggunakan kesempatan ini unntuk berlari meinggalkan apartemen dan desa.
Di perjalanan menuju tempat tinggal Akira, Rena melambatkan langkahnya. Lututnya mulai lemas, ntah karena memang letih berlari atau merasa takut pada dirinya sendiri. Ia merasa asing bahkan untuk dirinya sendiri.
"Apa yang telah kulakukan. Harusnya nggak seperti ini."
***
"Rena? Kau sudah datang?" Rena mendengar suara Akira menyambutnya dari sebuah ruangan. Padahal Rena masih harus melalui beberapa langkah menuju ruangan itu, tapi Akira sudah tau itu dirinya.
Akira berbalik untuk menyambut Rena yang Akira yakini sekarang sudah berdiri tepat di belakangnya. Senyum ceria Akira dapat terlihat beberapa detik sebelum akhirnya hilang begitu matanya melihat Rena yang gemetaran dan kebingungan. Akira merasa mengkhawatirkannya, terlebih lagi Rena datang dengan tangan kosong. Tidak membawa apapun, terutama barang yang diminta Akira sebelumnya.
"Apa yang terjadi?"
"Maaf Akira, aku nggak bisa membawa barang yang kau minta. Tapi aku tetap harus pergi ke lembah batu."
Raut wajah Akira berubah, semula ia mengkhawatirkna Rena, tapi sekarang ada kekesalan dalam dirinya. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi rencananya akan berjalan. Setelah menunggu cukup lama bersandiwara di depan Rena untuk memanfaatkannya, ternyata menjadi sia-sia, Rena tidak berguna, bahkan untuk permintaannya yang sangat sederhana.
Akira mengepalkan tangannya. Muak berpura-pura baik di depan Rena. Rena melihat itu, dia melihat kepalan tangan Akira. Rena merasa dirinyalah yang membuat Akira kesal, Rena yakin ini karena permintaan Akira sebelumnya.
"Hey Akira, permintaanmu itu kan hanyalah barang, nggak perlu sekesal itu kan?"
"Justru karena itu. Hanya barang sederhana yang ku minta, kenapa kau tidak bisa menurutinya. Tak berguna!"
Rena menautkan alisnya, heran apa yang membuat Akira seperti ini. Apa barang yang gagal dibawanya akan merusak semua eksperimennya? Lagian barang yang dimintanya adalah barang milik orang lain, tentu saja Rena tidak bisa mendapatkannya semudah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Difference [END] ✔
FanfictionTerdampar ke dunia anime kesukaan kalian, apa pernah kalian bayangkan? Begitulah yang dialami Rena, ntah mimpi apa yang membuatnya bisa sampai ke dimensi lain. ___ "Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa di sini?" gadis itu terus menanyakan hal ya...