2. Companionship

1.1K 180 5
                                    

□■□■□■□■□

Dalam waktu dekat Hinata sudah yakin, kalau Naruto bakal menemukannya. Hinata tidak pernah meragukan pria itu, sejauh apa pun dia pergi, Naruto selalu menariknya kembali, dan membawanya berada ke rumah mereka, di unit paling tinggi dari sebuah gedung apartemen. Sudah banyak kasus mereka putus, tapi pria itu selalu merayu dan punya alasan untuk kembali—selalu.

Dengan pakaian yang masih sama seperti tadi malam, bahkan kaki yang kotor sehabis berlari menyusuri aspal, Hinata mengambil duduk di pinggir kasur empuk yang terkadang dirindukannya. Tempat ini masih sama, seperti beberapa tahun lalu sebelum dia meninggalkannya. Seakan-akan, dia terbangun seperti biasa, dan kenangan si kembar yang berada di benaknya sekarang adalah bagian mimpi indah yang selalu diharapkannya. 

Hinata menoleh ke bagian pintu, melihat Naruto dengan kemeja ketat putih, menonjolkan seberapa berotot tubuhnya. Dan ketika hasaratnya masih sama, ia ingin sekali merayap ke atas tubuh pria itu dan mereka bisa mulai bercinta pagi seperti yang selalu mereka lewati bersama.

"Aku yakin kau tidak setega itu sampai membunuh darah dagingmu sendiri," Hinata duduk di pinggir kasur dengan bergetar, dia harus melakukan apa pun demi memastikan bahwa si kembar baik-baik saja. "Biarkan aku melihat mereka, atau beritahu apa yang mereka lakukan sekarang."

Naruto melempar lembaran foto ke depan mukanya. Di sana ada si kembar yang sedang makan dengan gembira, juga sedang bermain dengan seorang pengasuh di ruang anak. Hinata mulai lega, dia tidak lagi cemas. 

"Terima kasih," tetapi Naruto merebut semua foto itu dan merobeknya, kemudian mencengkeram rahang Hinata. Pria itu terlihat tidak main-main, dan urat-urat di dahinya yang menonjol menunjuk padanya bahwa pria itu sedang marah. "Naruto—"

"Aku muak mendengar kata terima kasih darimu," bisik Naruto. "Mengapa kau memilih pergi? Apa karena aku tidak menginginkan seorang anak? Atau justru, karena aku tidak pernah menanggapi dengan serius soal pernikahan?" Hinata keluh, dan hanya memandangi mata Naruto yang sedih, tapi dalam waktu yang sama pria itu sangat sedih sama seperti dirinya.

Saling menatap satu sama lain untuk mencari alasan masing-masing. Keadaan pagi itu terasa sunyi serta mencekam karena mereka menghabiskan waktu untuk saling memandang. Bahkan ketika Naruto mencuri-curi ciuman darinya, Hinata masih merasakan hati mereka membara sama seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, hubungan mereka secara tidak langsung telah berakhir.

Namun mengapa? Adalah pertanyaan untuk dirinya sendiri, dan sama halnya seperti Naruto. Dia juga bertanya mengapa, mengapa, dan mengapa waktu itu dia merasa sangat sedih oleh hubungan mereka. Apa ini dipicu karena dirinya tahu Naruto tidak pernah menginginkan seorang anak di antara mereka? 

Bukan, tentu saja, bukan hanya itu.

Naruto sudah berubah ketika memasuki dunia kerja. Perusahaan yang besar dan persaingan yang mengerikan. Naruto makin mirip seperti seorang mafia yang bisa bebas menggunakan senjatanya untuk menjatuhkan lawan. Hinata sadar, dia tidak ingin anak-anaknya hidup dalam lingkungan tidak sehat seperti itu. Sudah cukup dengan hubungan mereka yang sejak awal perlu dipertanyakan. 

Apa yang sekarang harus dilakukannya. Mengatakan seluruh keluhan juga butuh persiapan yang besar:

Hubungan tersebut tidak pernah sehat untuk membangun keluarga kecil mereka sendiri. Kenyataan pahitnya, Naruto tidak pernah membicarakan masa depan mereka lebih baik. Setiap hari yang dihabiskan oleh mereka adalah pesta minuman keras, seks, hingga hidup dalam kemewahan. 

Meet Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang