10. Faithfulness | END

1.5K 184 9
                                    

□■□■□■□■□

Dengan pertimbangan bertahun-tahun. Masa SMP anak-anak mereka terselamatkan dengan keduanya masuk ke dalam sekolah swasta. Tentu saja dengan sebuah peraturan yang membuat mereka seperti remaja pada umumnya, tidak boleh diantar-jemput dengan mobil pribadi, harus menggunakan sepeda, atau jalan kaki. 

Pagi itu saat bel pelajaran pertama baru saja berbunyi, Bolt melihat seorang anak perempuan dengan hati-hati melewati pagar tinggi. Dia anak pertama yang membolos meski sudah hampir setahunan ini memegang kendali atas nama ketua osis.

Bolt berhenti bermain Animal Crossing di Nintendo-nya, yang baru-baru ini game tersebut cukup terkenal di negaranya. Semua orang tanpa batas usia, menggilai permainan tersebut. Tapi pagi ini bukan waktunya untuk itu. 

"Aku bisa membantumu, karena aku sudah menunggumu sejak tadi," ujar Bolt setelah memasukkan Nintendo ke dalam tasnya. "Ayo, jatuhkan saja. Sumpah deh, aku tidak tidak akan membuatmu terluka, ya meskipun kau akhir-akhir ini bertambah gemuk."

"Tutup mulutmu, Bolt!" teriak Himawari marah. "Aku juga bersumpah kalau kau sampai tidak menangkapku dengan benar, akan aku bilang Papa kau membawa mainan berengsekmu ke sekolah!" Bolt menurunkan tangannya, dia merasa tersinggung dengan ancaman itu. "Lihat, kau bercanda keterlaluan!"

"Hima, aku tidak yakin kau akan menepati janjimu. Kau tidak ingat lusa lalu? Papa hampir membunuhku karena dia tahu aku membeli gim baru. Padahal, waktu itu kau sudah berjanji untuk tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Tapi kau mengingkari janjimu."

Himawari menggeleng kesal. "Kau merusak boneka panda kesayanganku!" 

"Aku sudah memintanya untuk diperbaiki ke penjahit, dan boneka itu sudah benar." 

Tangan Bolt mengusap dahinya. "Oke, oke, maafkan aku," serunya, dan dia harus mengalah karena Himawari adalah adik perempuannya. Begitu peraturannya. "Kalau kau tidak segera turun, kita berdua akan kena masalah. Si Botak bakal berlari mendekati kita, dan pada akhirnya kita akan membuat Papa dan Mama marah besar."

Himawari menarik napas setelah dia melempar tas ke bawah. Dia kemudian mengambil ancang-ancang untuk pergi ke pelukan sang kakak. Dan pendaratan tersebut sangat sempurna. Bolt memang punya badan yang tinggi dan besar. Dia tidak akan kewalahan menangkap tubuh ramping adiknya. 

"Sudah beres, 'kan?"

Himawari tidak menanggapinya, karena dia sibuk membersihkan roknya. 

"Sekarang kita ke mana? Naik bus atau kereta?" tanyanya pada sang kakak. "Tapi aku lebih suka naik bus, karena 5 menit lagi, bus akan datang, sedangkan kereta untuk menuju ke sana butuh 12 menit menunggu. Aku tidak sabar melihatnya."

Bolt mengangguk. Ia tak tahu mana yang lebih baik. Satu-satunya yang dipahami olehnya dia harus membolos hari ini. Meski begitu, dia seolah-olah sedang mengkhianati pendukungnya, sebab Bolt adalah murid teladan, maka dari itu banyak yang memercayai dia sebagai ketua osis. Dalam kampanye besar di sekolahnya, dia jauh lebih unggul karena ramah, serta punya banyak teman. 

Pada akhirnya Bolt mengekori Himawari. Berbanding ke balik, Himawari dulu sangat pendiam, tapi sekarang dia sudah punya banyak teman, masih tidak terlalu ulet, tapi dia sangat impulsif. Apalagi, ketika gadis itu malah ikut bela diri. Sekarang, dia cukup punya nama di lingkaran atlet nasional tingkat junior, sementara Bolt, tidak cukup berani mencari gara-gara kecuali mengadu pada ayah dan ibunya.

"Apakah kita tidak perlu membawa hadiah?" 

Himawari menggeleng. "Ibu pasti akan menggerutu karena kita menyia-nyiakan uang jajan. Kau tahu sendiri kalau Ibu sudah mempersiapkan segalanya, jadi dia tidak perlu hadiah apa pun dari siapa saja itu." 

"Apa kau yakin Ibu baik-baik saja?" Himawari menoleh dengan sinis. "Maksudku, apakah kondisi Ibu sudah membaik?" 

"Pikirkan saja kondisi kita, kalau sampai Ayah ada di sana menunggu Ibu, habislah kita."

Itu yang paling mengerikan. Kalau kedua orangtuanya tahu mereka membolos, sudah pasti akan jadi bulan-bulanan. Mereka tidak akan berhenti mengomel dan terus mengungkit di kemudian hari.

Bolt menghela napas. "Aku sekarang bisa membayangkan wajah Ayah penuh urat di dahinya," tapi sebenarnya, satu-satunya yang dia takutkan adalah kemarahan ibunya. Wanita itu sudah pasti lebih mengerikan kalau marah. "Ya Tuhan, aku jauh lebih khawatir pada Ibu. Sekarang aku sudah bisa membayangkan dengan jelas matanya berapi-api," ucap Bolt panik.

Himawari juga membayangkannya. Dia memijit pelipis karena pening tiba-tiba. 

Sekeluarnya dari bus, ketika dalam waktu 10 menit perjalanan tersebut membawa mereka menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah sakit. Mereka berdua mendongak pada gedung di depan, sementara Himawari kemudian menyalakan ponselnya. Dia membaca sekali lagi pesan yang dikirimkan oleh seseorang. 

"Ibu menyewa suite di lantai atas," sebaliknya Bolt menggigit bibir bawahnya. "Kau jadi pergi tidak? Kalau tidak yakin, kembali saja ke sekolah. Di tengah perjalanan, pikirkan saja alasan apa yang akan kau katakan kepada si Botak."

"Memang aku bilang bakal kembali ke sekolah?" 

Himawari mengabaikan kakaknya. Berjalan lebih dulu memasuki rumah sakit. Ia pergi ke lift dan bergerombol di sana untuk menuju ke lantai atas. 

Bolt merasakan dadanya kurang baik, suaranya seperti jam yang berdetik. Dia tidak mau membuat kesalahan, karena adiknya pasti akan memarahinya. 

Namun yang dikhawatirkan adalah sang Ayah. Tugas rumahnya bertambah. Selain itu, dia harus membersihkan kamarnya sendiri setiap bangun tidur. Oh Tuhan, dia tidak bisa hidup tanpa pembantu-pembantu di rumahnya. Tapi di balik itu, dia juga penasaran, dan dia tidak akan membiarkan Himawari pergi sendirian. 

Sesampainya di depan pintu ruang inap di mana ibunya berada, Himawari dan Bolt sama-sama menelan ludahnya selagi keduanya mencermati papan nama ibunya. Kita hanya perlu berdoa, Ayah tidak ada di dalam, karena Ibu punya sifat pemaaf, sedangkan Ayah tidak. Doa mereka tetap sama, seperti itu jelasnya.

"Ibu, kami datang," seru Himawari menggeser pintu ruangan ibunya dengan nada gembira, menutupi kegugupannya. "Aku kemari bersama—" sialnya, Himawari melihat ayahnya sedang membelakangi dirinya, dengan kemeja putih yang lengan tangannya dilipat ke siku-siku, terlihat sedang berpikir, tapi kini menoleh dengan menaikkan satu alisnya. Tampak heran melihat putra dan putrinya ada di sini, bukan di sekolah. "Ah, sial." Gumam Himawari.

Bolt melompat dengan wajah pucat, jantungnya seakan copot saking kagetnya melihat wajah ayahnya yang tampak muram. "Maaf, maaf, aku hanya tidak ingin Himawari dihukum sendiri, akan lebih baik kalau aku dihukum juga," Himawari melihat Bolt jijik. 

Dasar penjilat!

"Apa yang kalian katakan?" seru ayahnya dengan heran. "Cepat kemari, lihat adik kalian. Bukankah dia sangat lucu?"

Bolt menghela napas lega, dia hampir tidak percaya saat ayahnya tidak memarahinya, malah mempersilakan dirinya untuk melihat adik keduanya. 

Himawari berjalan lebih dulu, disusul oleh Bolt kemudian dengan tidak sabaran. 

"Mama, selamat atas kelahiran anak ketiganya, dan terima kasih," seru keduanya dengan gembira. 

Mamanya tersenyum, terlihat senang saat mendapati si kembar datang pagi itu, meski dia tahu kalau mereka sedang membolos. "Terima kasih, jadi, hukumannya menyusul ya?"

Bolt dan Himawari terdiam.

□■□■□■□■□

TAMAT

Meet Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang