5. Affection

1K 172 2
                                    

□■□■□■□■□

Bartender yang bekerja di pub langganannya tertawa mengejek, lalu menghela napas yang kentara menandakan bahwa dia siap untuk mendengarkan keluh-kesahnya, juga mencemooh dirinya. Namun mungkin sedikit berbeda kali ini, sebab bartender itu tahu, kalau pelanggan setianya bukan menceritakan hubungan aneh di antara kekasihnya yang menghilang. Akan tetapi, pelanggannya itu harus menghadapi apa yang tidak disukainya. Sebuah entitas paling tidak bisa diterima adalah seorang anak.

"Mau menambah minuman kalau begitu?" 

"Satu lagi," ujar Naruto lemah. "Atau, sampai benar-benar membuatku mabuk, dan tidak ingat apa-apa." 

"Kalau yang satu itu, aku tidak siap untuk mendapatkan hukuman atau interogasi yang mengakibatkan sertifikatku disita. Aku menyukai pekerjaanku dengan seluruh tip yang lebih besar dari gajiku," kata bartender tersebut, seakan-akan sedang menasihati Naruto. "Tentang anak-anak itu lagi?" 

Naruto menelan brendi sekali tegukan. Ia kemudian mendesah kesal selagi meletakkan gelas secara kasar di atas meja. "Kau akan tahu rasanya jadi aku," kata Naruto kepada bartender itu. "Tiba-tiba menjadi seorang Ayah, dan—aku bahkan tidak menyukai anak kecil."

"Anak kecil dan anakmu itu jelas berbeda," seru sang bartender. "Mereka mungkin sama-sama anak kecil, tapi memiliki makna yang berbeda dalam hidupmu. Bahkan kurasa kau sudah tahu ketika pacarmu meninggalkanmu dengan hamil muda. Sudah selama itu, kau tidak harus menyebutnya secara tiba-tiba. Kau cukup siap, atau kau perlu mempersiapkan dirimu sebagai seorang Ayah mulai sekarang."

Sesulit itulah sekarang nasibku!

Sampai hari ini, meski Naruto sudah bertemu anak-anak itu, dan mendengar suara lucu mereka memanggilnya 'ayah'. Naruto masih tidak bisa menerima mereka dengan kelegaan bahwa anak-anak itu lahir dan dibesarkan dengan dididik sangat baik.

Hinata mengajari mereka hidup mandiri. Tahu bahwa ibunya bekerja, Bolt cukup dewasa menuntun adik kembarnya belajar menyikat gigi, membersihkan rumah—melakukan pekerjaan rumah yang paling mudah seperti membersihkan kasur dan mencuci piring. Mengapa dia tidak merasa beruntung memiliki seorang putra yang cekatan dan cerdas seperti anak itu?

Naruto tersenyum masam mengingat anak laki-lakinya yang hampir mirip dengannya, tapi tentu saja bukan mengenai kemandiriannya. Naruto tidak setangkas anak laki-laki itu. Dia sangat malu mengingat masa anak-anaknya yang tidak pernah berhenti mengandalkan Hinata di sisinya dalam segala hal. Anak itu memang lebih mirip Hinata yang sangat dewasa, berbanding terbalik darinya yang tidak bisa apa-apa.

"Kau menangis?" bartender itu tertegun, dia tidak bisa percaya mata Naruto berkaca-kaca malam ini. Pria itu tidak pernah terlihat selemah hari ini. "Apa yang sedang kau pikirkan? Pacarmu? Atau justru anak-anak itu?"

Ia tidak menjawab, karena dirinya sendiri bingung, apa yang membuatnya sangat sedih secara tiba-tiba. Mungkin saja rasa sedih itu disebabkan oleh pengaruh brendi yang sejak tadi dia nikmati sendiri sambil mengobrol dengan pria di depannya ini. Tapi masih tidak menemukan apa yang sebenarnya dia cari di sini.

Namun tidak berlangsung lama. Naruto malah teringat sesuatu yang membuatnya sangat menyesal. Pada waktu Hinata aborsi untuk pertama kalinya, karena dia mengatakan dengan jelas sebelum itu, bahwa dia tidak tahu kenapa tidak menyukai anak-anak. Meskipun ada alasan yang lebih dapat dia terima, tetapi tidak bisa dia sampaikan kepada kekasihnya. 

Hal kecil, tapi sudah aku ingat sekarang:

Anak-anak sangat lemah, mereka menganggap semuanya dapat diselesaikan dengan cara bersedih. Tidak lupa, harus dengan merengek. Seusianya, berbanding terbalik dengan anak-anak yang melakukan hal semacam itu demi keinginan mereka, seperti meminta main atau pergi ke mana.

Meet Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang