4

514 38 8
                                    

Pelayan tersebut pun meninggalkan kami.

Harum erotis ruangan ini cukup membuat indra pernafasanku terganggu. Bau dari peluh penuh nafsu, serta aroma cairan bercinta tercium sangat kuat.

Nico Robin—wanita yang baru saja aku ketahui namanya ini masih menangis sesenggukan, air matanya tak kian berhenti mengalir.

Aku memberanikan diri untuk mendekatinya, namun saat dia mendengar suara langkahku. Nico Robin langsung terbangun dan menatapku sedikit terkejut.

"Kau—"
"Ssshh,"

Aku refleks menempelkan jari telunjuk ku di buku bibir nya.

Gadis ini langsung menyunggingkan senyumnya. Di iris mata berwarna legamnya; aku dapat melihat rasa bersyukurnya bahwa aku berada disini untuk menolongnya.

"Ternyata kau mendengarkan permintaan tolongku, ak—"

"Ya, aku mendengarkannya dan sekarang kita harus cari cara untuk kabur dari sini," ujarku.

"Kau betul paman," tukas Robin; panggilannya membuat aku sedikit terpancing emosi.

"Jangan panggil aku paman, aku punya nama."

Wajahnya tetap tersenyum tapi tentu saja ia tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya terhadapku.

"Kenapa kau tidak memberitahu namamu dari awal?"

Ekspresi kesalnya, cukup menggemaskan.

"Kau tidak bertanya namaku kan?" timpal ku.

Kemudian dia terdiam, dan aku duduk disebelahnya
"Baiklah aku minta maaf, sekarang aku akan bertanya siapa namamu?"

"Panggil saja Zoro."

"Baik, aku akan memanggilmu Zoro."

Aku tersadar, bahwa gadis ini sama sekali tidak memakai sehelai benang pun. Aku terdiam membeku dan wajahnya kebingungan melihatku.

Gadis didepanku ini telanjang, loh.

Oh Tuhan—tidak saat ini Zoro.

Tidak.

'Benda brengsek' diantar selangkanganku menegang.

Biar bagaimana alasan aku kesini untuk menolongnya; aku tetaplah laki-laki.

Astaga.

"Kau kenapa?" gadis ini mendekatkan wajahnya kepadaku. Kini jarak antar wajah kami kurang dari 30 centimeter.

Dan iris kami terkunci satu dengan yang lain.

Lagi dan lagi aku menatap iris berwarna legam miliknya. Iris mata yang menggerakan perasaan tulus didalam diriku yang aku benci.

"Namaku Nico Robin, panggil saja aku Robin agar lebih mudah. Sebenarnya Robin adalah nama penaku tapi aku mau kau tetap memanggilku Robin." lanjutnya.

Ah—aku rasa Robin mungkin seorang penulis? atau mungkin sastrawan?

"Kau penulis? Sastrawan?"

"Lebih tepatnya jurnalis," jawabnya.

Ternyata dugaanku salah semua, gadis ini adalah seorang jurnalis. Kemudian kami berdua pun terdiam. Suasana canggung menyelimuti jarak antara kami.

Kemudian aku melihat tubuh mungilnya bergetar kedinginan.

Bodohnya, aku baru saja tersadar lagi jika gadis ini tidak menggunakan sehelai baju sama sekali. Dan dengan rasa malu, aku membuka baju penghangatku kemudian aku membalut tubuh ringkihnya.

Robin menatapku sembari menyunggingkan senyum kemudian berkata,

"Terima kasih, Zoro."

Aku menunduk,

Ini kali pertama seorang wanita berterima kasih padaku namun dengan nada yang sangat tulus.

Aku hanya membalas dengan anggukan tanpa suara.

"Kenapa kau menolongku?" tanya nya lagi.

"Memang menolong harus ada alasan ya?"

Robin menggendikkan bahunya.

"Kalau harus ada alasan, lebih baik aku tidak menolongmu," timpalku jujur pada Robin.

"Bukan begitu maksudku, eumm maksudku... dimasa-masa krisis global yang mempengaruhi hampir segala aspek kehidupan sekarang, aku tidak percaya masih ada orang yang tulus."

Kali ini aku yang terbisu. Aku tidak mau menanggapi apa yang gadis ini katakan.

Lagi dan lagi. Bahkan orang yang baru saja aku kenal langsung saja membahas kata adjektif yang sangat aku benci.

"Ah—maaf sepertinya aku menyinggungmu lupakan saja apa yang kukatakan, ya?"

Aku mengalihkan pandangan lurusku ke wajahnya. Ekspresi wajahnya terlukis kepedihan disana.

"Miris ya kehidupan ini? Aku sangat sedih sekali, kenapa orang tua ku membuangku hanya karena aku membuka semua kebobrokan pemerintah dan politik prefektur sialan ini."

Bibirku terkunci. Tenggorokanku seperti dicekik.

Aku terkejut. Aku pun tidak mau berpraduga namun jika dirasa benar, gadis ini adalah orang asing yang pasti aku kenal sebelumnya.

"Kebobrokkan prefektur ini? Memang kau siapa? Kau hanya jurnalis biasa yang menulis artikel kan?"

Ia mengangguk lemah.

"Kau berkirim surat dengan seseorang penting di prefektur ini?"

"Iya, Zoro.... akulah yang mereka panggil 'pahlawan kebebasan pers' di koran berberapa pekan lalu."

Lidahku semakin terasa kelu, detakkan jantungku semakin tidak beraturan. Nafasku terengah-engah.

"Apa yang terjadi, Zoro?" Robin ingin meraih tanganku namun aku menepis nya.

"Kau?"

Aku menghela nafas, membelalakan mataku tidak percaya gadis yang di depanku ini adalah seseorang yang sangat aku kenal.

"Athena?"

Robin tidak kalah terkejutnya saat aku menyebutkan nama dari dewi Yunani tersebut.

"S-socrates?"

TO BE CONTINUED

💌 A/N: Sejauh ini bagaimana ceritanya? Kalian suka? 🙂

Jangan lupa untuk meninggalkan vote dan comments nya ya ❤️

Sampai jumpa di chapter berikutnya nakama! 💗

[✓] Serendipity • ZoroBinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang