12. MENCINTAI YANG TAK CINTA

3.9K 806 95
                                    

"Sekarang lo percaya kan?" Jatu mendekatkan wajah ke arah Raven, seakan-akan memastikan bahwa sang sahabat telah yakin.

Raven mengangguk pelan. Tidak ada keraguan setelah melihat tindak-tanduk Titan. Perpaduan kikuk, tersipu, juga malu. "Tapi, Raven juga udah bikin satu keputusan. Walopun Jatu serius sama Pak Titan, keputusan itu nggak akan berubah."

"Tentang Langit?" tebak Jatu.

Raven kembali mengangguk pelan, lalu menunduk dalam. "Kalo nanti ketemu, ada yang mau Raven omongin sama Langit," ucapnya pelan. Begitu pelan hingga seperti bisikan angin.

Masih dengan kepala tertunduk, Raven menghela napas panjang. "Meskipun Raven nggak tahu kapan bisa ketemu Langit. Raven juga masih menyiapkan hati."

"Lo di mana?"

Raven terkejut saat mendengar pertanyaan Jatu. Ia segera mendongak dan melihat sang sahabat tengah berbicara dengan seseorang di ponsel. Entah siapa. Mungkin, suaranya memang terlalu pelan hingga gadis itu mengabaikan di tengah perbincangan.

"Ada yang perlu diomongin. Saung dekat fakultas gue. Sekarang, ya."

Raven memicing curiga. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Apa mungkin lawan bicara Jatu adalah Langit? Jika iya, kenapa gadis itu melakukannya? Yang terpenting, apa yang harus ia lakukan?

Pertanyaan Raven terjawab kurang dari lima menit kemudian. Lokasi Fakultas Teknik dan MIPA memang berdekatan. Tidak heran jika Langit bisa tiba dalam waktu singkat. Saat melihat lokasi keberadaan Jatu, dia pun berlari menghampiri.

Dengan wajah bahagia dan senyum yang tersungging lebar, pria itu lalu duduk bersila di samping Jatu. Dihadapkannya seluruh tubuh ke arah sang gadis idaman, isyarat siap mendengar apapun yang akan dibicarakan.

Jatu melirik sekilas pada Langit yang menatap penuh cinta, lalu berpaling pada sang sahabat yang terlihat sangat gugup. Dia sudah memutuskan, Langit dan Raven harus meluruskan permasalahan di antara mereka. Berada dalam lingkaran kesalahpahaman sungguh tidak mengenakan. Satu sisi sahabat, satu sisi teman seperjuangan. Lagipula Raven sudah bilang ingin mencari kesempatan bicara.

"Oke. Karena orangnya udah ada, sekarang lo bisa bicara langsung," ucapnya pada Raven. "Tenang aja. Demi menjaga privasi, gue bakal pergi. Kebetulan gue kebelet." Gadis itu buru-buru berdiri dan beranjak sebelum ada yang mencegah.

Langit sungguh terkejut. Dipikirnya, gadis itulah yang ingin berbincang. Tak disangka bahwa orang yang dimaksud adalah Raven. Batu rintangan yang menghalangi hubungannya dengan Jatu selama lebih dari tiga puluh kali revolusi bulan terhadap bumi.

Akan tetapi, Langit tidak mencegah kepergian Jatu. Baginya, momen itu dapat menjadi sebuah kesempatan. Kali ini, dia harus menegaskan pada Raven bahwa hatinya telah dan akan selalu menjadi milik Jatu. Tidak untuk perempuan yang lain.

Pria itu lalu berpaling, menatap tajam pada Raven yang masih menunduk dalam. Ada rasa kesal sekaligus iba. Namun, tekadnya sudah bulat. "Lo yang namanya Raven?"

Raven tidak menjawab. Tepatnya enggan. Ia yakin, Langit sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu.

"Gue cuma mau bilang, seandainya lo nggak ada, mungkin udah lama gue jadian sama Jatu." Langit mendengkus. "Kenapa Jatu harus kenal sama lo, sih?"

Di kursi seberang, Raven mendengar setiap kalimat yang terlontar dengan hati yang perih. Lebih sakit dari saat mengetahui bahwa pria itu mencintai sahabatnya. Meskipun begitu, selama ini ia terus bertahan dengan harapan bahwa satu hari nanti Langit akan berpaling dan menyadari cintanya.

"Jadi, lo mau ngomong apa? Gue harap itu sesuatu penting," ucap Langit dingin. "Kalo bukan karena Jatu, gue nggak bakal mau ngedengerin lo. Jadi, jangan sia-siain kesempatan yang lo punya."

A-MORE (End Versi Wattpad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang