19. CAMILAN

3.7K 761 390
                                    

"Astaghfirullah!"

Bruuk!

Pekikikan Jatu disusul dengan bunyi berdebam dari tubuh yang membentur lantai. Begitu terkejutnya hingga ia tak menyadari masih ada dua anak tangga lagi yang harus dijejaki sebelum tiba di lantai dasar.

Sementara sosok yang tengah duduk di sofa sambil mengotak-atik iPad, hanya termangu. Antara terkejut dan bingung. Sungguh, gerakan ceroboh tadi sangat jauh dari kesan anggun.

Jatu segera berdiri, menggosok-gosok telapak tangan yang terasa perih. Jatuhnya memang tidak terasa terlalu sakit, tapi hatinya teriris saat bangkit. Malu setengah mati. Ia bahkan sempat berpikir untuk pura-pura tak sadarkan diri. Namun, urung karena ragu akan mendapatkan pertolongan dari pria yang tengah lekat memandangi.

Dengan langkah-langkah pincang, Jatu berjalan mendekat. "Ada apa, ya, Pak?"

Bukannya menjawab, pria itu malah balik bertanya, "Kamu tadi ngapain?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah Jatu. Rasa-rasanya ia ingin melempar slippers yang dikenakan ke wajah datar itu. Apa pria di sana tidak lihat kalau tadi ada yang jatuh gara-gara terkejut? Apa dipikirnya ini salah satu gerakan dari debus?

Jatu mendengkus. "Menurut bapak?" ketusnya.

"Praktek kungfu," jawab Titan tanpa rasa bersalah.

'Benar, kan? Harusnya sandal ini sudah melayang dari tadi,' rutuk Jatu dalam hati. Gadis itu lalu melanjutkan langkah menuju sofa tempat Titan berada.

Di ruangan berukuran 6 x 10 meter itu, Terdapat empat buah sofa panjang yang masing-masing dilengkapi dengan sebuah meja. Dengan keberadaan televisi berukuran 36 inchi di salah satu sudut, ruangan itu dapat berfungsi sebagai tempat menerima tamu, kumpul, sekaligus tempat untuk menonton bareng.

Akan tetapi, pekan UAS menyebabkan ruangan yang biasanya ramai itu mendadak sunyi senyap. Para penghuni tengah sibuk belajar di kamar masing-masing. Hanya ada seorang satpam yang tengah serius menonton pertandingan sepak bola Indonesia versus Malaysia.

Titan duduk di sofa yang terletak jauh dari sang satpam. Pembicaraan yang akan dilakukan cukup serius dan membutuhkan fokus. Dia juga tak ingin ada orang lain yang mendengarnya.

Jatu menarik kursi plastik tunggal yang ada di ruangan itu, lalu meletakkannya di hadapan Titan. Meskipun ingin, rasa-rasanya terlalu canggung jika harus duduk sesofa bersama sang dosen. Apalagi kalo ada penghuni lain yang memergoki.

"Kenapa ke sini, Pak?" tanyanya setelah duduk sempurna.

"Nggak boleh?" Titan malah balik bertanya.

Jatu mengelus dada. Setelah siang tadi diabaikan, rasa-rasanya kunjungan malam hari ini terlalu membingungkan. "Boleh, sih. Tapi, aneh aja."

Titan menatap lekat ke mata Jatu. "Saya mau ngomong serius sama kamu," ucapnya dingin.

Dada Jatu terasa bergemuruh mendengar kalimat itu. "Ngomong serius?" ulangnya dengan suara lirih.

Seserius apakah obrolan yang akan dilakukan? Apakah sang dosen akan memintanya menjadi pacar? Jatu bertanya-tanya dalam hati. Tiba-tiba ia tersadar. Jika begitu, ia harus melakukan satu hal penting terlebih dulu.

Jatu melihat ke arah baju yang dikenakan. Kaos lengan panjang hitam yang warnanya sudah pudar hingga lebih terlihat seperti warna abu-abu. Dengan bawahan training, bekas seragam olahraga SMA. Dipadu jilbab instan yang membuat wajahnya tampak bulat.

Gadis itu tiba-tiba bergidik pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin pembicaraan serius tersebut dilakukan oleh dua orang yang penampilannya berbeda 180 derajat? Titan yang necis dengan sweater putih dan jeans, sedangkan dirinya terlalu apa adanya.

A-MORE (End Versi Wattpad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang