IKRAR TIGA KELINGKING

5.1K 530 118
                                    

Botol air mineral di hadapanku tinggal seperempat. Sementara satu porsi roti bakar nutella, satu porsi pisang bakar keju cokelat, dan sepiring kentang goreng, sudah raib entah ke mana. Maaf, aku bohong. Tentu saja aku tahu keberadaan mereka. Tepat di dalam perutku.

Sebenarnya, aku tidak setuju dengan pertemuan di Coffee Campus ini. Bagaimana tidak? Saat aroma kopi menguar di seluruh ruangan, aku harus berpuas diri dengan sebotol air mineral. Kalo cuma minum air putih, kenapa juga harus ke sini? Mungkin itu yang ada di benak para pengunjung lain. Sungguh, aku pun ingin menikmati segelas kopi seperti mereka, jika saja lambungku tidak cerewet. Kena kafein sedikit, dia ngambek.

Pada awalnya, sosok yang ingin menemuiku memberikan dua pilihan lokasi pertemuan: Coffee Campus atau Rainbow Café. Namun, karena tahu persis karakter sosok tersebut, aku lebih memilih Coffee Campus. Jika pembicaraan hari ini tidak lancar, dan ia memutuskan tak mau membayari makananku, paling tidak dompetku tidak jebol.

Aku kembali menyeruput air mineral. Sesekali melihat jam di tangan. Empat puluh menit lagi café ini tutup. Namun, sosok itu masih belum datang.

Selagi asyik menggerutu, ekor mataku menangkap satu sosok menjulang tengah berjalan tergesa dengan seorang gadis kecil berkucir satu. Dengan setengah berlari, mereka akhirnya memasuki Coffee Campus.

"Maaf, saya telat. Kami dari bandara." Alih-alih salam, sosok itu langsung mengucapkan kata maaf, lengkap dengan alasan keterlambatan. Ia pasti tidak mau menyinggung perasaanku.

"Nggak apa-apa. Silahkan duduk," ucapku sambil menunjuk kursi kosong di hadapan.

Anak beranak itu pun segera duduk bersampingan. Aku menyeksamai wajah keduanya. Ah, aku memang tidak salah pilih. Sang papa cukup tampan, sementara anaknya sangat lucu menggemaskan. Meski tidak memiliki ikatan darah, hubungan keduanya sangat akrab.

"Jadi, ada perlu apa?" tanyaku to the point. Aku ingin buru-buru pulang dan rebahan. Serius!

"Em... ng... anu... begini, sebenarnya...." Sosok pria itu tampak terbata-bata.

"Jadi, Ahjuma, papa tuh nggak setuju sama ending seperti ini!" tukas gadis perempuan itu.

"Oh." Aku mengangguk-angguk. Wait! Tunggu! Apa maksudnya panggilan tadi? Aku pun berdehem. "Ahjuma? Siapa yang kamu panggil ahjuma tadi?" tanyaku dengan mata melotot.

Sang ayah segera menyikut pelan lengan bagian atas putrinya. "Maaf, Sensei. Maaf!" Pria itu langsung menundukkan kepala.

Mata melototku mulai kembali ke ukuran normal. Sensei? Ah, aku tiba-tiba merasa seperti Aoyama Gosho dan Eichiro Oda. Sontak, senyumku mengembang. Setidaknya, sang ayah tahu cara menghormati orang yang ingin dimintai bantuan.

"Kenapa kamu nggak setuju?" tanyaku ringan, berusaha terlihat bijak.

"Begini, Sensei...."

Pria itu membasahi bibir. Mungkin dipikirnya aku akan tergoda. Huh! Tentu saja iya! Maksudku, tentu saja tidak!

"Pertama, saya, Titan Bhaskara, adalah tokoh utama cerita ini. Apa gunanya saya hadir dari bab satu ketika ending-nya justru merugikan saya? Saya nggak terima!"

Aku melipat tangan di meja. "Kamu pikir, tokoh utama harus selalu mendapat ending bahagia?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Titan malah bertanya lagi, "Kedua, di blurb dituliskan bahwa saya sedang mencari calon ibu sambung untuk Amore. Tapi, kenapa ujung-ujungnya tujuan itu tidak tercapai?" tanyanya lagi.

A-MORE (End Versi Wattpad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang