dua

92 53 29
                                    

"Bun, ayo lah Bun."

"ENGGAK! Bio gara-gara kucing buntel ka—."

"Namanya Stuart, Bun."

"Jangan potong omongan Bunda! Sekali lagi kamu potong omongan Bunda, Bunda goreng kucing kamu sekarang! Ini ketiga kalinya kucing kamu ngerusak tanaman bunda."

"Yaelah Bun, tanaman daun doang, itu daunnya juga uda pada bolong."

"Pokonya Bunda ga mau tau, Senin pagi kucing kamu harus angkat kaki dari sini, atau kamu yang angkat kaki."

"Yah, Ayah." Dengan memasang mimik melas ia mencoba mencari pembelaan.

Enggan mendengar perdebatan antara adik dan bundanya, akhirnya ia memutuskan masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mentulikan telinga, tak memperdulikan sang adik yang merengek meminta dukungan suara.

Sepertinya Nokia harus memutar otak lagi, berusaha menemukan cara agar mood bundanya kembali stabil, minimal bunda tak menjadikannya sasaran kemarahan. Jika sang bunda di biarkan dalam keadaan mood seperti ini kemungkinan besar besok ia tak diijinkan keluar malam, gagal sudah rencananya.

"KAKAK!"

Brak

Pintu itu terbuka kasar, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Tanpa permisi pemuda yang masih setia mendekap kucing abu-abu itu masuk.

"Kak, bantuin gue ya, kasian si Stuart."

"Yaelah, kasih aja ke orang, entar juga banyak yang mau."

"Enteng banget lo ngomong, tinggal main kasih. Lo pikir gue dapet kucing ini tinggal mungut? Si Stuart tuh blasteran, mahal. Gue beli dari temen gue."

"Yaudah sana jual aja, di obral biar cepet laku."

"Kak, lo gak tau perasa—."

"Bodoh amat, sekarang lo keluar!"

Ia dengan jengkel menarik tangan Bio, menyeretnya ke arah pintu, meskipun sedikit kesulitan karena postur tubuh Bio yang sedikit lebih tinggi daripada Nokia. Ingat! Sedikit lebih tinggi, hanya sedikit. Mungkin selisih sekitar 5 cm.

"Awas lo, gua aduin lo ke Bunda kalau kemarin malam lo keluar makan sate bareng Ayah," ancam Bio.

"Gue aduin juga lo, kalau lo pulang sekolah suka kebut-kebutan."

Nokia menendang Bio keluar dari kamarnya, menutup pintu sebelum Bio berhasil kembali masuk kedalam kamar.

"BUNDA, MINGGU KEMARIN POT BUNGA BUNDA DIPECAHIN KAKAK," teriak Bio dari luar. Sengaja ia meninggikan suara, bukan untuk membuat bundanya mendengarnya, tapi hanya untuk menakut-nakuti Nokia.

"YANG PENTING UDAH GUE GANTI."

Tak ingin memperdulikan Bio yang tengah berteriak-teriak lagi seperti orang gila. Ia membaringkan tubuh, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut berwarna biru laut yang selaras dengan warna cat tembok kamarnya, merangkul boneka beruang jumbo kesayangannya sebelum melakukan ritual untuk berkelana ke alam mimpi.

Pikiran berjalan kembali ke masa lalu, kata 'seandainya' selalu terucap, ada sebuah pertanyaan yang belum sempat terjawab, memang terlalu pilu tapi ia ingin tau.

Selesai merapalkan doa, Nokia mulai memejamkan mata. Belum, ia belum terlelap, ia hanya menutup mata dan membuka dunia khayalannya. Dunia yang ia ciptakan serta ia gerakkan sendiri, tempat dimana ia dapat mengendalikan semua, kejadian yang terjadi didalamnya sesuai keinginannya. Anggap saja dongeng sebelum tidur, dongeng yang berisi tentang asumsi serta impiannya.

Dunia itu perlahan mulai luntur ketika kesadarannya mulai runtuh, dengan sendirinya meninggalkan dunia semu, menggantinya dengan tidur bermutu untuk mengistirahatkan tubuh.

Nokia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang