Enam

17 13 6
                                    

Dengan gesit Nokia mengendarai motor, berkali-kali ia menyalip kendaraan lain demi mengejar mobil Borneo yang semakin lama semakin cepat. Benar apa yang dikatakan Rey, kecepatan motor Nokia tak sebanding dengan kecepatan mobil Borneo.

Serta lagi-lagi mereka hampir kehilangan jejak si target, namun takdir masih berpihak pada Nokia, salah satu macet di ibu kota dapat memerangkap mobil Borneo, sehingga Nokia dapat menemukan mobil itu kembali.

Kini jarak mereka hanya terpisah oleh dua mobil dan lima sepeda motor.

"Ini lama banget." Nokia bergumam, ia merasa jenuh. Bibir yang tadinya lembab kini menjadi kering.

Dalam waktu lima belas menit mereka hanya dapat bergerak beberapa meter, tak lebih dari lima puluh meter. Seandainya ia tak sedang mengincar seseorang, mungkin kini ia lebih memilih mencari celah untuk putar balik dan keluar dari kemacetan.

"Panas," keluh Rey. Ia terlihat tengah menggaruk helm, mungkin karena kulit kepalanya berkeringat dan terasa gatal.

Matahari semakin naik, panas semakin terik, polusi yang semakin merajalela menjadi makanan sehari-hari warga kota metropolitan ini. Apalagi kini harus larut dalam macet, lengkap sudah penderitaan.

Beberapa orang jalanan terlihat berlalu-lalang mengais rezeki, entah sekedar menawarkan dagangan, memberikan jasa membersihkan kaca kendaraan, mengamen, ataupun tengah mencari sampah di pinggir jalan untuk dijadikan uang.

Mesin kendaraan terus bergemuruh, suara klakson bersautan seolah tak ingin berhenti, beberapa kali terdengar suara keluhan para pengendara, tak sedikit yang memilih melanggar aturan lalulintas karena tak sabaran, atau mungkin merekah terlalu sibuk untuk hanya sekedar terjebak macet.

Untuk kesekian kalinya Nokia mengusap keringat yang bercucuran di wajahnya, matanya mulai sayu, dan bibirnya semakin pucat.

"Ki, minum Ki?" tawar Rey.

Nokia menggeleng, ia tersenyum menahan tawa karena tak sengaja melihat wajah Rey yang memerah dari pantulan kaca spion.

Setelah beberapa menit akhirnya mereka dapat bergerak sedikit lebih maju, namun tetap saja Nokia belum dapat melihat apa penyebab kemacetan kali ini karena beberapa meter didepan mobil Borneo terdapat sebuah truk besar.

Namun ia menyadari sesuatu, pandangannya menangkap sebuah rambu-rambu lalu lintas yang menandakan posisinya tak jauh dari rel kereta.

Rey mengikuti arah pandang mata Nokia, ia hanya mendengus pasrah.

"Ini paling di depan ada kereta lagi main kereta-keretaan, mangkanya bikin macet," ujar Rey, ia mencoba melawak.

Bukanya menanggapi dengan tawa seperti biasa, Nokia hanya tersenyum simpul mendengar ocehan Rey.

Rey yang mendapat respon itu tersenyum maklum.

"Kia, minum," Rey menyodorkan sebuah botol air mineral, "muka lo pucat." Rey bukan hanya menawari lagi, namun kali ini Rey seperti menyuruh Nokia mematuhinya.

Nokia tetap menggeleng, ia terlalu lemas untuk sekedar bersuara. Bukan hanya bibirnya, kini wajahnya juga mulai memucat.

Suara penyanyi jalanan terdengar semakin jelas, dari arah depan terlihat mereka mulai mendekati tempat Rey dan Nokia. Singgah dari kendaraan satu ke kendaraan lainnya, sebelum akhirnya mereka kini berada tepat di samping Rey dan Nokia.

"Dek, disana ada apaan kok bikin macet?" Rey bertanya penasaran.

Pertanyaan Rey membuat suara musik dan nyanyian sekelompok anak itu terhenti.

"Oh, itu Bang." Salah satu dari mereka mulai angkat bicara. "Ada dua truk gandeng yang ban-nya pecah di tengah jalan, mangkanya terpaksa lewatnya harus gantian."

Nokia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang