A_3

43 9 0
                                    

Muka Lala merah. Dia tidak sanggup--tidak bisa menahan senyumnya untuk kesekian kalinya ketika berhadapan dengan laki-laki itu.

■■■

Hujan rintik-rintik yang diberikan Tuhan kepada bumi membuat malam yang selalu dingin bertambah semakin dingin. Ditambah ruangan yang begitu sepi membuat Aksen tidak bisa memejamkan matanya. Bukan karena takut, tapi pikirannya sedang terpaku pada sesuatu.

5 menit lagi, semangat!

5 menit lagi, semangat!

5 menit lagi, semangat!

Ucapan yang diucapkannya pagi tadi membuat kepala Aksen seketika ramai. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia dengan berani mengucapkan kata semangat kepada seseorang yang bahkan Aksen belum mengetahuinya secara pasti. Ah, perempuan itu! Sejak pertama kali bertemu, Aksen memang sudah merasakan perasaan yang berbeda tentangnya.

Aksen mengusap kepalanya pelan. Menggigit bibir bawahnya lalu melirik ke arah pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. "Ngapain?" tanyanya setelah 2 orang laki-laki berhasil masuk ke dapam kamarnya. Mereka membawa sebungkus plastik.

"Gue bawa ini." Zaky, salah satu dari mereka menyodorkan sebungkus mie goreng pada Aksen. Lantas Aksen menerimanya. "Makan, kampret! Mentang-mentang gue sama Alan pulang dulu selama 3 hari lo gak makan? Jangan ngira gue gak tau!" Sambung Zaky. Dia sedikit menoyor kepala Aksen.

"Gue gak laper." Aksen menolak. Sementara Zaky, dia mengintruksikan Alan, temannya satu lagi untuk menghampirinya. "Al, bawa panci sana, gue toyor juga ni anak pake panci!" ucapnya penuh kegeraman. Lantas dia menepuk bahu Aksen sekilas. "Gak laper palalu! Lo gak makan, gue yang dimarahin sama kakek lo!"

Aksen menahan nafasnya sejenak. Dia mengangguk kecil pada Alan dan Zaky sebelum mereka berdua turun ke bawah--menuju kamarnya masing-masing.

Sebenarnya, Zaky dan Alan adalah teman sekaligus sahabat yang dianggap saudara kandung oleh Aksen sendiri. Mereka tinggal dalam satu atap yang notabene-nya adalah rumah milik Aksen--lebih tepatnya, rumah peninggalan milik orang tua Aksen. Aksen tidak masalah selagi itu adalah rumahnya sendiri. Tapi masalahnya, dia selalu saja mendapat penekanan dari Kakeknya, orang yang sekarang memiliki tahta paling tinggi dalam keluarga Aksen. Mau tidak mau, Aksen harus selalu menuruti apapun perintah Kakeknya itu tanpa alasan untuk menolak. Karena dialah cucu satu-satunya.

Aksen menjauhkan bungkus mie gorengnya lalu menyandarkan tubuh di kursi belajarnya. "Ribet banget jadi kakek-kakek!" desisnya pelan setelah menerima beberapa pesan SPAM dari kakeknya itu. Dia terlihat tidak suka dengan isi pesan yang tertera.

Tubuhnya berdiri lantas menyingkap gorden jendelanya untuk mendapatkan hawa segar dari hujan yang semakin deras. Persetan dengan masalah pribadinya, lagi-lagi pikiran Aksen terfokus pada seseorang yang belakangan ini tengah menjadi tersangkanya.

Udara yang dingin serta wangi malam yang menyeruak membuat dirinya betah dengan pikirannya saat ini. Tangannya kirinya menopang dagu lalu menatap lurus suasana gedung-gedung yang begitu kemerlap diterpa air hujan.

Lantas sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Queserra ... "

■■■


"ALANA KOK LAMA?"

Sudah 30 menit yang lalu Lala mondar-mandir menunggu Alana keluar dari toilet. Dia sudah berkali-kali menyandarkan tubuhnya ke dinding tanpa takut. Tenang, kok! Persentase bersihnya 90% dan 10% nya kotor dari hajat manusia saja wak.

AKSEN [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang