Happy Reading
**
Semua manusia terlahir dengan garis takdir yang telah di tentukan sang pencipta untuk jalan hidupnya.
Lintar pun tahu itu, tapi yang namanya manusia pasti memiliki sifat kurang bersyukur yang selalu membuatnya membenci takdir.
Kamar Lintar berada di ujung, tempat paling nyaman baginya. Saat ia akan pergi pasti melewati sebuah perpustakaan pribadi keluarganya.
Disana, lewat celah pintu yang terbuka ia melihat sang Kakek yang tengah bersandar di kursi kayu dan sebuah album poto yang berada di genggamannya. Lintar mengerti apa yang sedang Kakeknya lakukan.
Melamun, mengingat masa-masa bahagia hidupnya. Saat dimana belum kehilangan Anak dan menantunya. Kedua orang tua Lintar.
Lintar mengepalkan kedua tangannya, bibirnya mengukir senyum remeh. Lihat, Lintar membanggakan Kakeknya yang berjiwa tegas, tapi sang pencontoh sedang memperlihatkan sisi rapuhnya tanpa di sadari.
Terus untuk apa Lintar mencoba baik-baik saja? Ia juga manusia kan?
Balapan malam ini mungkin memang ide yang bagus.
Lintar melangkah menjauh, sekuat tenaga meredam emosinya. Saat sampai di lantai dasar ia bertemu dengan Nenek Inka.
Nenek Inka tersenyum lembut, "Malam cucu Nenek. Lintar tahu Kakek ada dimana?"
Lintar tersenyum kecil, kemudian menggeleng. "Enggak tau, mungkin di ruang kerja? Biasanya di sana. Lintar mau keluar bentar."
"Hati-hati ya, sayang."
**
Mobil Lamborghini hitam metalik milik Lintar melaju kencang membelah jalanan kota Jakarta. Ia sudah hampir sampai ke daerah sirkuit yang melewati jalanan kosong yang gelap dan sepi.
Lintar berdecak kala deringan ponsel miliknya tidak berhenti bergetar. Daffa dan Daffi tidak terima di tinggal sendirian, maka dari itu mereka sejak tadi menghubungi Lintar.
Memasuki daerah sepi penduduk membuat Lintar dengan senang hati memacu kendaraannya. Sebentar lagi Lintar hampir sampai sebelum sekelabat bayangan melintas di depannya, hingga membuatnya banting setir ke sebelah kiri yang langsung menabrak pembatas jalan.
Telinganya berdengung hebat, darahnya berdesir kencang. Sedikit demi sedikit darah keluar dari permukaan kulitnya.
Lintar setengah sadar, bebarengan dengan ponselnya yang kembali berbunyi. Tangannya bergetar saat menggapai ponsel dan menggeser ikon hijau.
"Anjing, gue hampir mati."
"Woyy! Jangan becanda bangsat. Gue panik!"
"Buruan jemput gue. Jalan sirkuit."
**
Bunga dan Siska terkantuk-kantuk di kursi tengah, sesekali menguap dan menggaruk pipi mereka. Dengan embel-embel solidaritas, Stella berhasil memboyong kedua sahabatnya untuk ikut menjenguk Lintar di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintar : an Ability [New]
Teen Fiction[ New Version ] Menurut Stella, Lintar itu seperti bunglon. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu menatap dingin. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu cuek terhadap orang lain. Dan Lintar dengan bola mata hitamnya tidak pernah menganggap kehadi...