Happy reading
**
Jam yang menempel di dinding kelas terus menerus berdetak, waktu seakan mengejek Stella yang terus saja memikirkan seseorang.
Penjelasan Miss Sia mengenai materi bahasa Rusia sangat sulit untuk ia cerna. Bahkan Stella tidak fokus, dan otaknya menolak untuk menangkap apa yang sedang di jelaskan.
"Pengen balik," Stella bergumam untuk kesekian kalinya.
Bunga menghela nafas, seakan-akan banyak beban yang sedang ia pikul. "Stella, tolong jangan bikin otak kecil gue terus bekerja keras."
Stella menoleh, wajahnya cemberut. "Apa? Gue enggak ngapa-ngapain."
"Lo keliatan gelisah banget dari tadi, gue tau ini bukan karena pelajaran Miss Sia. Ayo bilang lo kenapa ha?" Bunga berkata, setengah berbisik.
"Lintar enggak masuk sekolah, gue jadi enggak semangat banget."
"Hadeh, dia bukan anak kecil lagi. Mungkin dia lagi males aja."
Stella mencubit lengan Bunga hingga gadis berpipi chubby itu mengaduh kesakitan. "Ih, Lo mah enggak tau. Gue curiga Lintar lagi ada masalah, maybe sama Kakeknya?"
"Bisa jadi tapi bisa juga enggak, mungkin aja Lintar cuma pengen menyendiri. Kaya semua orang tu enggak perlu tau segalanya tentang kita, and kadang orang juga bingung mau cerita atau ngungkapin isi hatinya tu gimana ke orang lain." Bunga berbicara dengan sungguh-sungguh.
Stella bertopang dagu, memandang papan tulis yang terisi penuh oleh tulisan Miss Sia. "Bunga, lo pernah ga sih ngerasa pengen dampingi seseorang tu sampe ke akar-akarnya. Ibarat lo itu punya sesuatu yang sampe gimana pun itu enggak boleh lepas dari lo."
Bel pergantian jam berbunyi, tapi tak membuat dua gadis cantik itu berhenti mengobrol. Bahkan mengabaikan Siska yang sedang push rank dengan anak lelaki kelas sebelah.
Bunga bergumam, mencoba memikirkan perkataan Stella. "Sejauh ini sih belum ada, mungkin gue cuma lagi enggak pengen kehilangan kedua orang tua gue. Sekesel bahkan sebete apapun gue ngadepin nyokap bokap, tapi gue enggak pengen mereka pergi gitu loh."
Stella mengangguk, "kalau itu gue juga enggak siap. Tapi kalau boleh jujur, gue ada ngerasa pengen banget gitu bisa jadi temen yang bisa dengerin keluh kesah Lintar."
Bunga terkekeh, "Lo mah enggak mungkin cuma mau jadi temen. Pasti ntar bakal minta status, apalagi seorang Stella sangat naksir dengan tuan muda Lintar."
"Iya sih, tapi gue serius tentang pengen dampingi Lintar. Bunga, lo pasti juga ngerti kenapa sifat cuek itu ada di diri Lintar. Pasti dia ngerasa sendiri tanpa orang tua, walaupun keluarga Agusto sangat peduli, tapi seorang anak paling butuh peran orang tua kan?" Stella memandang sendu, membayangkan bagaimana kehidupan lelaki yang ia sukai itu.
Bunga menatap Stella speechless, "Lo sesayang itu ya sama Lintar? Stel, lo keliatan tulus banget."
Stella tersenyum kecil, "keliatan banget ya?"
"Iya, bahkan gue takut lo bakal sakit hati kalau Lintar nolak lo."
"Bukannya itu resiko mencintai seseorang ya? Gimana kita tau perasaan dia kalau kita enggak nunjukin perasaan kita duluan. Tapi tenang aja, gue yang bakal buat Lintar nembak duluan." Stella menatap Bunga dengan binar kesungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintar : an Ability [New]
Ficção Adolescente[ New Version ] Menurut Stella, Lintar itu seperti bunglon. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu menatap dingin. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu cuek terhadap orang lain. Dan Lintar dengan bola mata hitamnya tidak pernah menganggap kehadi...