Happy Reading
**
Pagi hari yang cerah di temani senyuman mentari tidak membuat Tama merasakan keindahan itu. Tama ketiban sial dengan membentur pintu mobil saat ia akan ikut menaiki mobil Daffa.
Terasa perih, ia kira hanya akan sedikit benjol tetapi malah darah keluar sedikit demi sedikit dari kulitnya. Tama meringis, meraba dahinya kemudian tersenyum getir.
Daffa dan Daffi yang sudah berada di dalam mobil segera turun. Mereka terkejut melihat keadaan Tama, sungguh memprihatinkan.
"Apa? Luka kecil doang. Dah lah, gue emang enggak pernah di restui. Lo berdua aja naik mobil, gue mau berangkat pake motor gue aja." Tama tersenyum lebar, bersenandung kecil melewati mereka. Ia menuju garasi guna mengambil motor hitam kesayangannya.
Sementara si kembar saling menatap satu sama lain, kemudian menggeleng.
"Lo susul Tama pake motor, biar gue yang bawa mobil. Siapa tau nanti Lintar balik, lo tau sendiri Lintar enggak suka naik motor yang selalu Tama pake." Daffa berkata dengan cepat seraya mendorong punggung Daffi.
Daffi berdecak, menatap Kakaknya tidak terima. "Kenapa kita enggak paksa Tama atau Lintar buat saling nerima kebiasaan mereka satu sama lain?"
"Lo lupa? Lintar sama Tama itu beda, Daffi. Lintar butuh seseorang buat nerima segala kelemahan dia, makanya Tama di buat. Kalau kita paksa buat mereka saling nerima, kita sama aja enggak ngehargai Lintar. Tama ada karena Lintar enggak bisa nanggung semuanya sendirian."
Daffi menghela nafas panjang, kedua matanya memerah menahan tangis.
Daffa menepuk bahu Adik kembarnya, ia tahu perasaan Daffi saat menyangkut kelebihan sepupu mereka itu. Jelas mereka semua terkejut, bahkan Daffi sampai menangisi Lintar sepanjang hari.
"Tenangin diri lo dulu, Daffi. Biar gue yang susul Tama, lo pake aja mobilnya."
**
Tama menghela nafas panjang, ia merasa bosan menunggu petugas UKS yang katanya sedang buang air besar. Di mulai saat Tama sampai di sekolah dan hendak menuju kelasnya, tapi guru piket yang bertugas tiba-tiba menariknya dengan tidak sabaran menuju ruang UKS karena melihat dahinya yang terluka hingga mengeluarkan darah.
Tama cukup sadar diri untuk tidak melawan karena ia juga merasa kepalanya pening. Tidak pernah terbayang di pikirannya bagaimana jika ini terjadi dengan Lintar. Sejak kejadian itu, Lintar seperti pobia dengan darah.
Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Daffa. Tama baru ingat bahwa ia terlalu mengebut hingga meninggalkan mereka berdua.
"Halo? Dengan siapa disana? Masih Tama atau sudah kembali menjadi Lintar?"
Tama mendengus, bebannya seperti bertambah setelah mengangkat panggilan ini.
"Apaan, anjir! Gue Tama."
Terdengar helaan nafas lega, "lo dimana? Gue sama Daffi udah di kelas."
"Gue di UKS."
"Sialan lo, nyari kesempatan hah? Mau kabur lo gara-gara sekarang jadwalnya MTK ulangan harian?"
Tama tersenyum sumringah, mengucapkan syukur dalam hati. "Oh, ulangan. Selamat mengerjakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintar : an Ability [New]
Novela Juvenil[ New Version ] Menurut Stella, Lintar itu seperti bunglon. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu menatap dingin. Lintar dengan bola mata hitamnya selalu cuek terhadap orang lain. Dan Lintar dengan bola mata hitamnya tidak pernah menganggap kehadi...