19 : Masa Lalu

735 169 172
                                    

"Dirga! Berhenti!" Tirta berlari ke arah Dirga dan Gemma.

Matanya terbelalak, sebuah tinju bersarang di perutnya. "Ini adalah pilihannya sendiri untuk memerangi Martawangsa," ucap Frinza yang muncul dan menghadang Tirta.

"Ga peduli, meskipun itu adalah seorang adik yang bodoh. Semua yang ada si area ini ... adalah musuh!" ucapnya dengan sorot mata yang tajam.

"Minggir! Perang ini harus segera dihentikan ... Frinza!" teriak Tirta pada Kakaknya.

.

.

.

Jakarta, 2005.

Minggu pagi adalah pagi yang paling menyenangkan untuk anak-anak. Banyak film kartun yang disiarkan di televisi, liburnya kegiatan belajar di sekolah, serta punya waktu bermain yang lebih lama dari hari biasa. Normalnya minggu pagi adalah surga untuk anak-anak, tetapi tidak untuk bocah malang itu, anak terlemah di antara keempat putra Martawangsa Boroto.

"Aduh." Dirga terjatuh di tanah dan menatap Ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Bangun!" tutur Broto pada Dirga kecil yang masih berusia sembilan tahun.

"Mas, cukup ... Dirga kan masih anak-anak," ucap Adinda pada suaminya.

"Kamu tahu kan, sebentar lagi gerhana bulan akan tiba? Kita harus segera mempersiapkan semuanya," jawab Broto sambil melirik ke arah Dirga yang masih terduduk di tanah, kakinya berdarah.

Broto meninggalkan Dirga, ia berjalan ke arah Adinda. "Kita harus siap kehilangan salah satu anak kembar itu ...," ucapnya lirih sambil melewati Adinda.

Dinda menatap Dirga dengan sendu, sembari menahan getirnya. Ia menghampiri putra bungsunya dan menghapus air matanya. "Jagoan ga boleh nangis," tuturnya lembut sambil menghapus air mata Dirga. Dinda menggendong Dirga yang cengeng di pundaknya. Ia berjalan menuju sebuah kamar dan langsung mengobati luka Dirga.

Belum selesai Dinda mengobati luka bungsunya, putranya yang lain berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sembari menatap tajam ke arah Dirga.

"Hey adik bodoh," ucapnya sambil masuk ke dalam kamar.

"Frinza, ga boleh gitu dong ngomongnya," timpal Dinda menasehati anaknya.

Frinza memberikan es krim vanilla pada Dirga. "Ambil nih, makanan bodoh begini cocoknya buat orang culun." Dirga mengambil es krim itu dan langsung memakannya.

"Cih ... dasar Adik bodoh." Frinza berjalan keluar kamar sambil memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya.

Dinda hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap Frinza yang semakin hari semakin mengikuti Ayahnya yang selalu memanggil Dirga dengan embel-embel 'bodoh'.

Gemma berdiri di balik tembok kamar sambil memakan es krim. "Kenapa dikasih? Bukannya es krim itu kau beli untuk dirimu sendiri?"

"Di antara kita bertiga, cuma dia yang ga punya uang jajan," balas Frinza.

"Karena dia yang paling lemah, udah seharusnya dia ga dapet uang jajan kan?" lanjut Gemma.

"Santai, kita udah cukup dewasa. Ga terlalu butuh jajanan," ucap Frinza sambil menatap es krim di mulut Gemma.

***

Pagi berganti sore, Frinza berjalan di halaman rumahnya yang luas. Dari jauh ia melihat Tirta yang sedang bermain bersama teman-temannya, sementara Dirga tak berada di sana.

Bocah bodoh itu kurang pergaulan, batinnya sambil berjalan ke halaman belakang.

Langkahnya terhenti ketika ia menangkap sosok Dirga yang babak belur dan berkeringat. Edwin berada di sampingnya. Frinza memutuskan untuk melanjutkan langkahnya.

MartawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang