5 : Permulaan

794 198 108
                                    

Kreeek~

Seseorang membuka pintu, membuat wajah Naya kembali tersenyum. Ya, itu adalah Mega, setidaknya ia tahu bahwa seniornya masih baik-baik saja.

.

.

.

Untuk menjaga kondisi di ruang kerja, Naya sengaja untuk tidak mengajak Mega berbicara, ia hanya tak mau Mega terkena masalah gara-gara dirinya. Meskipun orang lain mengabaikannya, bukan berarti mereka menganggap Naya tak ada, mereka masih merespon Naya, hanya saja sikap mereka berubah menjadi lebih berhati-hati ketika tahu bahwa Naya melihat manekin aneh di ruangan mereka.

Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Naya menatap Mega yang masih bekerja, sedangkan semua orang sudah bersiap untuk pulang, karena gedung ini sudah harus kosong tepat jam enam sore.

"Mbak, ayo pulang, udah mau jam enam," ucap Naya pada Mega.

Semua orang menatap Naya.

"Nay--"

"Kamu ngomong sama siapa?" ucap salah seorang yang heran melihat Naya bicara sendirian.

"Sama, Mbak Mega," jawab Naya.

"Mega?" Semua penghuni ruangan semua saling bertatapan.

"Mega ga masuk hari ini, semalam dia kecelakaan."

"Hah?" Naya menoleh ke arah kursi, seorang wanita memang sedang duduk di kursi milik Mega, tetapi itu bukan Mega, dan semua orang tak dapat melihat wanita itu.

Naya berjalan mundur, ia tak percaya dengan teman-teman kerjanya, ia mundur hingga menabrak manekin yang menyeramkan itu, seingatnya manekin itu posisinya selalu menghadap kursinya, tapi kali ini boneka itu menghadap ke arahnya. Menyadari ada pergerakan dari manekin itu, Naya mengambil tas dan berlari keluar gedung.

***

"Jadi--apa yang kau lakukan di sini?" ucap seorang pria yang duduk di kursi direktur.

"Sekedar menyapa, sekaligus deklarasi perang," ucap seorang pria dengan hoodie berwarna hitam.

"Bagaimana caranya kau bisa sampai ke ruangan ini?" ucapnya sambil membelakangi pria berhoodie hitam.

"Gemma, seharusnya kau itu lebih pintar dariku, bukan? Memangnya kau pikir, siapa aku?"

"Adik kecil yang otaknya tak berkembang," jawab Gemma sambil memutar kursinya, ia menatap Dirga yang sedang bersandar di tembok samping pintu.

"Oh--kau lebih tampan dengan luka itu." Dirga menunjuk area di bagian atas hidung Gemma, ada sebuah goresan luka yang membekas di sana.

"Sayang sekali seranganku bersarang tepat di sebelah jantungmu, hanya tinggal beberapa senti lagi padahal," balas Gemma.

"Sebentar lagi para Dasamuka akan mengepungmu, ku pastikan kali ini jasadmu berada di sebelah makan, Ibu," lanjut Gemma.

"Kurang ajar!" Dirga berjalan ke arah Gemma, tetapi langkahnya terhenti, pintu ruangan Gemma terbuka secara paksa hingga membanting pintu ke tembok samping.

"Dia sudah pergi," ucap Gemma pada beberapa orang keamanan yang baru saja tiba, tak ada siapapun di ruangan itu selain dirinya, Dirga berhasil lolos dan kabur dari sarang musuhnya.

Ketika keluar dari gedung, Dirga melihat sosok yang cukup familiar, ia melihat Naya yang berlari keluar dari gedung, entah apa penyebabnya. Seorang dengan kemeja abu-abu berjalan keluar dan mengikuti Naya. Aura orang itu benar-benar mengerikan, bahkan lebih menyeramkan dari tekanan Jambrong dan topeng Sabrangnya.

MartawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang