20 : Bunga Merah Terakhir

726 169 80
                                    

"Dirga! Berhenti!" Tirta berlari ke arah Dirga dan Gemma.

Matanya terbelalak, sebuah tinju bersarang di perutnya. "Ini adalah pilihannya sendiri untuk memerangi Martawangsa," ucap Frinza yang muncul dan menghadang Tirta.

"Ga peduli, meskipun itu adalah seorang adik yang bodoh. Semua yang ada si area ini ... adalah musuh!" ucapnya dengan sorot mata yang tajam.

"Minggir! Perang ini harus segera dihentikan ... Frinza!" teriak Tirta pada Kakaknya.

.

.

.

"Anak baik ga boleh tidur malem-malem." Frinza melesat ke arah Tirta yang sedang berusaha melerai Dirga dan Gemma.

Empat bersaudara itu kini saling beradu antara satu dengan lainnya. Gemma melawan Dirga, dan Frinza melawan Tirta.

"Jika ini masih berlanjut, gua bersumpah ... Rahwana akan bangkit!" ucap Tirta.

"Turun aja ke bumi, biar gua lumat sekalian," balas Frinza sambil tersenyum.

Dia pikir ini guyonan atau gertakan semata? batin Tirta.

"Cuma orang yang lebih kuat, yang boleh memerintah!" Frinza melayangkan tinjunya ke arah wajah Tirta, tetapi adiknya itu mampu menangkis tinjunya dan mundur beberapa langkah.

"Percuma pake mulut ngomong sama berandal." Tirta mengepalkan tinjunya dan memasang kuda-kuda. "Cara terbaik berbicara sama begundal ... ya cuma pake kepalan tangan."

***

Sementara empat bersaudara itu bertarung. Tiga orang Katarsis sudah mengepung Kei yang sedang berbaring di atap kediaman Martawangsa. Merasakan bahaya datang, Kei membuka matanya dan beranjak dari tidurnya. Ia menatap ke arah tiga orang berjubah yang tengah mengepungnya.

Saksana, keluarga yang ahli dengan senjata, batinnya melihat salah seorang dari mereka membawa senjata berupa pedang.

Antakesuma ya? Keluarga penyihir. Kei menatap seorang pria yang mengeluarkan api dari telapak tangannya.

Kei juga menoleh ke arah pria yang terlihat santai. Orang itu dari keluarga mana? Kuncoro? Ah--atma dan fisiknya tidak terlihat kuat. Kusnendar? Ya, bisa jadi dia salah satu dari keluarga itu, Sang Perancang Taktik.

Kei bergumam sesuatu, warna matanya berubah menjadi biru. Ia menoleh dan menatap ketiga orang itu secara bergantian.

"Sekuat apapun seorang Yudistira, tentu saja akan habis jika diserang oleh tiga anggota keluarga agung," tutur Pria dari keluarga Kusnendar.

"Jika bukan karena orang itu." Kei menunjuk Indra yang sedang bertarung satu lawan satu dengan Broto. "Kalian sudah habis oleh Pak Tua dari Martawangsa itu."

"Melawan seorang pimpinan Martawangsa saja kalian hampir rontok ...," lanjutnya dengan sedikit jeda. "Apa lagi melawan Sang Yudistira ini?" Kesombongan Kei membuat ketiga Katarsis itu geram.

"Jangankan kalian, tiga ekor ikan teri. Sepuluh pimpinan keluarga juga harus tau posisi mereka jika berhadapan denganku. BERLUTUT!"

Sontak ketiga Katarsis itu berlutut di hadapan Kei, tubuh mereka gemetar. Ucapan yang keluar dari mulut Kei seakan membuat tubuh mereka bukan lagi milik mereka, apa yang mereka lakukan berbeda dengan kehendak yang ingin mereka lakukan.

"Gimana rasanya ga punya kuasa atas tubuh kalian lagi?" tanya Yudistira sambil menatap mereka dengan tatapan merendahkan.

Sial! Ada apa ini? batin Pria Saksana yang baru saja membuang pedangnya.

MartawangsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang