04. Berakhir

110 26 11
                                    

Kayla sedari tadi terus menciumi wajahku. Aku tidak merasa risih hanya saja takut jika riasan di wajahku akan menempel di bibirnya. Jika termakan atau tidak sengaja terjilat oleh Kayla bisa bahaya kan?

Rendra berhenti di sebuah minimarket dan turun sendirian membawa tas belanja ramah lingkungan yang ada di jok belakang. Aku yang merasa tidak diajak memutuskan untuk tetap berada di dalam mobil.

Setelah setengah jam, Rendra kembali dengan tas belanjanya. Lelaki itu sama sekali tidak menatap atau melirik padaku. Benar - benar mengabaikan keberadaanku yang ada di dalam mobilnya. Bahkan, sedang memangku anaknya.

Bukan maksudku ingin merasa dianggap ada oleh Rendra. Hanya saja, setidaknya jangan membuatku seperti tidak terlihat. Bahkan kentut saja masih bisa dirasakan keberadaannya. Haruskah nasibku lebih buruk daripada kentut? Yang benar saja.

Tega kamu mas, eh.

Rendra kembali melajukan mobilnya. Kayla sudah tertidur. Mungkin karena lelah terlalu banyak bercerita dan menciumi wajahku.

Hatiku menghangat melihat wajahnya yang damai dan tenang saat tertidur. Aku tidak pernah sedekat ini dengan anak kecil bahkan adikku sendiri.

Setelah beberapa menit, mobil Rendra mulai masuk ke area basement apartemen yang mungkin saja ditinggali Rendra dan Kayla. Aku tidak terlalu yakin juga.

Mobil sudah terparkir. Rendra keluar dari mobil dan membuka pintu di sisiku hendak mengambil Kayla yang tertidur pulas di pangkuanku.

Saat Rendra coba mengambil alih Kayla, tangan anak itu malah semakin mengerat di leherku. Rendra tidak bisa melakukan hal lain. Lelaki itu hanya membuka pintu mobil lebar - lebar dan membiarkan aku membopong Kayla sendirian.

Bukan apa - apa nih, saudara - saudara. Tapi, Kayla ini berat bangeeet. Suwer dah.

Rendra jalan mendahuluiku. Sementara, aku terseok - seok menahan berat tubuh Kayla.

Ganteng sih. Tapi, ya peka gitu loh. Ini orang kenapa sih daritadi diem aja. Mukanya sok dilempeng - lempengin pula. Asdfghjkl banget.

Akhirnya, aku sampai di lift. Rendra menekan angka 16. Rendra diam. Nafasku sudah tersengal. Sudah seperti orang yang mau melahirkan. Padahal hamil saja aku belum pernah apalagi melahirkan. Ya tuhan, tolong hambamu ini.

Saat besi berbentuk bujur sangkar ini sudah berhenti bergerak, pemandangan yang aku lihat hanyalah pintu dan rak sepatu yang tersusun rapi.

Sepertinya, lantai 16 ini seluruhnya milik Rendra. Dirancang sedemikian rupa agar menjadi hunian yang nyaman bagi pemiliknya.

Rendra membuka pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk. Saat sudah berada di dalam 'rumah' milik Rendra ini, aku hanya berdiri kikuk di tengah ruangan.

Sepertinya, lantai ini memang sudah 'ditandai' oleh Rendra. Auranya sangat terasa bahwa rumah ini hanya diisi dua orang saja setiap harinya, mungkin. Lengang, sepi, sunyi. Warna putih gading dan cokelat muda mendominasi pandanganku sekarang ini.

Setelah dari pintu masuk, aku langsung disuguhkan pemandangan terbuka dengan langit biru yang menyapa. Jendela kaca dengan tirai yang dibuka sepenuhnya. Ada televisi dan sofa besar yang melengkapi ruangan super luas di hadapanku. Televisi itu menempel di tembok bagian kanan. Lalu, karpet berwarna abu - abu monyet dan sofa super empuk dengan warna sama namun tampak lebih gelap. Entah apa namanya.

Setelah area 'nonton' sepertinya masih ada area lain dengan nuansa yang lebih terbuka karena cahaya matahari menelusup masuk dan mengenai layar televisi yang mati. Area itu tampak menjorok ke dalam. Dari posisiku berdiri, belok ke kiri dan barulah bertemu dengan area terbuka itu.

𝑼𝒏𝒆𝒙𝒑𝒆𝒄𝒕𝒆𝒅 𝑪𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆𝒔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang