08. Rutinitas

163 23 40
                                    

Sudah hampir seminggu setelah akhirnya aku setuju untuk selalu ada di sisi Kayla. Menemani Kayla dan membuatnya senang hanya dengan keberadaanku di hidupnya.

Bukankah bahagia itu sangat sederhana? Bersedia untuk selalu ada untuk orang lain saja sudah cukup untuk mendatangkan kebahagiaan. Seperti Kayla contohnya. Hanya dengan aku ada dalam jangkauan mata Kayla saja sudah cukup membuat gadis kecil itu bahagia.

Senyuman dengan mudahnya hadir menghiasi wajahnya yang sudah terlihat cantik di usianya yang masih sangat muda. Pipinya merona dan matanya semakin berbintang. Sebahagia apa sebenarnya Kayla saat aku ada di dekatnya?

Tentu, aku sangat bahkan amat sangat senang dengan rutinitasku yang sekarang. Berlebihan mungkin karena sebenarnya tugasku tidak jauh beda dengan baby sitter.

Tapi, tidak apa. Aku akan mengatakannya sekali lagi bahwa aku amat sangat senang dengan rutinitasku beberapa hari ini.

Berangkat kerja di pagi hari menggunakan kendaraan umum seperti biasa. Sampai kantor, aku akan langsung berkutat dengan pekerjaanku.

Kabar baiknya, aku tidak perlu lagi menghindar dari kantin kantor karena pasti Rendra tidak akan ada disana. Bersama dengan tehnya.

Sudah merasa biasa saja jika ada pengumuman yang tersiar. Tidak lagi memikirkan kemungkinan akan dipanggil ke ruangan pak Wiryawan.

Di sore hari, saat jam pulang para karyawan, tepatnya jam 5 sore, aku akan menaiki bus paling awal dan langsung ke apartemen Rendra.

Kayla akan menunggu kedatanganku di dapur, duduk bersama papanya. Rendra dengan laptopnya dan Kayla dengan buku cerita atau buku bergambar miliknya.

Biasanya, Kayla baru saja atau mungkin sudah lama terbangun dari tidur siangnya. Dia akan menolak untuk dimandikan oleh Rendra karena lebih memilih untuk dimandikan olehku.

Kami akan makan malam bersama dan menemani Kayla belajar sampai gadis kecil itu tidur saat waktu menunjukkan jam 8 malam.

Selama tiga hari berturut-turut, Kayla selalu meminta aku dan Rendra untuk menemaninya hingga tertidur. Namun, selalu berakhir aku jadi ikut tertidur dan baru pulang ke kontrakanku saat memang tidak sengaja terbangun karena Rendra tidak pernah membangunkanku.

Aku sangat menikmati rutinitas baru yang sekarang aku jalani. Selalu kembali ke kontrakanku –mari dari sekarang sebut saja rumahku– dengan perasaan nyaman dan dilingkupi kehangatan.

Jujur, rasanya seperti memiliki keluarga.

Hanya saja, terkadang aku berpikir bahwa aku adalah istrinya Rendra dan sudah bercerai sehingga harus tinggal terpisah. Namun, anakku masih membutuhkanku sebagai mamanya sehingga aku harus bolak-balik mengunjungi apartemen Rendra.

Jangan sampai Rendra tau karena yang pasti aku malah akan dipelototi olehnya atau bahkan tatapan sinis yang justru akan aku dapatkan.

Aku meminta maaf sebesar-besarnya kepada siapa pun istri asli Rendra yang juga mamanya Kayla. Aku sepenuhnya melakukan semua hal ini karena Kayla dan bukan karena ingin dekat dengan Rendra.

Aku meyakinkan diriku sendiri setiap saat bahwa Rendra bukan tipeku. Rendra bukan lelaki idamanku. Rendra bukan lelaki yang aku butuhkan dalam hidupku. Rendra bukan seseorang yang akan menemaniku seumur hidup bahkan hingga kehidupan di bumi ini berakhir. Bukan, bukan, bukan!

Tapi, semua sangkalan itu selalu berputar dan kembali pada kesimpulan bahwa sebenarnya: Yes, he's the one.

Ah, rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok hingga kepalaku melunak. Lalu, nenceburkan diriku ke kolam renang rumah Rendra dan tidak kembali ke permukaan.

𝑼𝒏𝒆𝒙𝒑𝒆𝒄𝒕𝒆𝒅 𝑪𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆𝒔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang