1.1

14 5 0
                                    

Beberapa mahasiswa yang kena evaluasi sekarang sudah berdiri rapih di lima ruangan yang dipisahkan sesuai poin pelanggaran. Jeje ditugaskan di ruang lima, karena di sanalah panitia keamanannya kurang. Jeno juga ada di situ. Suara pendingin ruangan berbunyi lirih mengisi kesunyian dan ketegangan antara mahasiswa baru dan panitia ospek. Di ruang inilah para pemilik poin tertinggi ditempatkan. Jeje beberapa kali bolak- balik di depan seorang mahasiswa yang kedapatan memutar bola matanya malas saat Jeno berbicara di depan ruangan.

"What are you doing?" tanya Jeje heran. Mahasiswa baru dengan name tag 'Adit' itu menatap Jeje dengan tidak takut.

"Saya memperhatikan kamu daritadi. Sikap kamu tidak sopan," ujar Jeje lagi. Jeno yang sedang mengevaluasi mahasiswa lain di bagian depan mendengar percakapan Jeje, dan memperhatikannya.

"Saya gak ngerti kenapa saya ada di sini," ujar Adit. Jeje mendengus kesal dan mengerutkan dahinya. "Poin kamu di atas delapan puluh lima. Kamu mau nggak lulus ospek?"

"Saya tidak peduli."

"Maksud kamu apa?"

"Kak. Sebenarnya tugas- tugasnya buat apa? Saya tidak merasakan efek apapun dari mintain tanda tangan panitia, atau minta biodata seangkatan. Buang- buang waktu. Lebih baik saya ngerjain laporan praktikum, jadi nilai saya aman."

Jeje diam.

"Itu alasan kamu. Bilang saja kalau malas," ujar Jeje tidak terima.

"Memang malas, karena tidak berguna, Kak."

Mata Jeje memanas. Terekam jelas beberapa bulan terakhir dimana ia dan panitia acara lainnya memikirkan semua konsep acara dan penugasan dengan matang. Tak jarang mereka harus rapat sampai subuh, menerima cercaan, revisi, dan makian kakak- kakak pembimbing. Lalu dengan mudahnya Adit bilang bahwa acara dan penugasannya tidak berguna. Semudah itu. Itu cukup menghancurkan perasaannya, seolah apa yang ia kerjakan tidak ada artinya sama sekali.

Jeje bisa merasakan Jeno yang mendekat ke arahnya, ingin mengambil alih.

"Kami–"

"Kenapa, Kak? Mau pakai alasan 'kami panitia juga lebih capek daripada kalian'? Klise. Itu konsekuensi jadi panitia."

Jeje terdiam tidak percaya. Di sampingnya, Jeno sudah ingin langsung mengambil alih, namun Jeje tahan.

"Enggak. Saya gak mau ngomong gitu. Saya malah kasihan sama kamu, pola pikirnya hanya stuck di situ saja," ujar Jeje sambil berusaha menyembunyikan suaranya yang bergetar.

"Coba kamu pelajari lagi cara menghargai orang lain. Oh iya, biasakan juga jangan terlalu terpaku dengan steriotipe yang ada," lanjutnya lagi. Ia lalu menengok ke Jeno yang sudah geram.

"Jen. Gue ke ruangan sebelah dulu."

Jeje berjalan cepat keluar, menyusuri lorong, masuk ke ruang panitia, lalu bersandar di balik pintu. Beberapa panitia kebingungan melihatnya. Kaki Jeje langsung lemas, dan ia jatuh terduduk begitu saja. Ia sakit hati.

"Je, je, je? Lo kenapa?" panggil Haechan yang sekarang tampak panik. Air mata mulai jatuh di pipi Jeje, dan hal itu membuat Haechan tambah panik. "Ada yang bisa back up di ruang lima? Kurang satu di situ," ujar Jeje lemas. Dejun yang sedang menganggur langsung menawarkan diri dan pergi ke ruang lima. Di ruang panitia memang tidak terlalu ramai. Jadi ia bisa menangis tanpa rasa tidak enak.

Melihat Jeje yang belum tenang, segera Haechan memanggil Reyna dan Mark. Mereka harus tahu keadaan temannya.

"Je...."

Mark masuk, menemukan Jeje yang lagi ditenangkan Reyna.

"Chan. Kenapa?" tanya Mark sembari mendekati Haechan.

tentang markTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang