4.

1.2K 184 74
                                    

"Lu gak kuliah, kak?" Tanya Vivi.

Saktia menggeleng, ia masih fokus memainkan ponselnya, "Libur."

Vivi memicingkan matanya, "Boong lu. Gue aduin ibuk baru tahu rasa lu."

Saktia menghela napas panjang, ia menurunkan ponselnya lalu menatap Vivi yang masih berbaring di atas ranjang. "Kuliah itu dapet jatah bolos sebanyak 3 kali tiap mata kuliah, jadi gue manfaatin dengan sebaik-baiknya."

"Bilang aja males kuliah."

Saktia menegakkan tubuhnya, ia menunjuk dirinya sendiri, "Gue mah anak paling rajin."

Vivi menaikkan satu alisnya ke atas, "Se-?"

"Sekeluarga." Jawab Saktia lalu tersenyum-senyum.

Kemarin sore Vivi dan Mira baru saja menjalani operasi pengambilan usus buntu, semua biaya ditanggung oleh si tukang bubur itu jadi Vivi tidak perlu khawatir tidak bisa membayar biaya operasi.

Siang ini seharusnya Vivi sudah boleh pulang ke rumah, Vivi juga sudah bisa memakan sesuatu yang sedikit keras walaupun perutnya masih terasa sakit saat digerakkan dan saat obat pereda nyerinya habis.

Vivi menoleh ke arah Saktia yang kembali bermain ponsel, "Eh, kak."

"Hn."

"Elu yang ngerjain tugas TIK gue, ya?"

Saktia menatap Vivi sebentar kemudian menganggukkan kepalanya, "Kenape?"

"Udah ketebak lah." Gumam Vivi.

Saktia mengerutkan keningnya, "Ketebak apanya?"

Vivi menghela napas panjang, ia melihat ke langit-langit ruangannya, "Gue harus bikin tabel di word, tapi kenapa lo malah bikin di excel?"

"Bukannya excel buat tabel-tabel, ya. Gue pikir guru lo salah, jadi gue bikin di excel."

Vivi mengusap kasar wajahnya, inilah alasan mengapa ia tidak betah jika berlama-lama dengan kakaknya yang unik ini. Memang benar kalau kakaknya ini sering membuatnya tertawa, tapi terkadang kebodohannya Saktia membuatnya terus beristighfar setiap saat.

"Di word juga bisa, kak. Lagian kenapa sok-sokan ngerjain tugas gue coba?" Tanya Vivi.

"Gue kasian liat elo, bangun pagi-pagi buat nyiapin makanan, sorenya ada les, malemnya ngecek Rara. Lo aktivitas nonstop, gue gak tega liat elo."

Vivi sedikit terharu dengan ucapannya Saktia, "Makasih udah perhatian sama gue, kak. Walaupun kadang nyebelin, lo tetep kakak gue satu-satunya."

"Ya, iyalah." Saktia membusungkan dadanya ke depan, ia sangat ingin mendengar Vivi memuji dirinya dan sekarang ia bahagia hanya dengan mendengar pujian dari Vivi.

"Kak." Panggil Vivi.

"Hn."

"Rara gimana?"

Saktia kembali memainkan ponselnya, "Gapapa, lo istirahat aja."

Vivi menegakkan tubuhnya, ia meringis merasakan sakit di perutnya. "Gapapa gimana?"

"Ya, emang gapapa."

"Ayo pulang sekarang." Ucap Vivi.

Sudah hampir dua hari ia berada di rumah sakit dan ia tidak tahu bagaimana keadaan Rara, ia tidak Rara semakin sakit dan malah berujung meninggal. Ia sangat menyayangi Rara dan ia tidak mau kehilangan Rara, ia ingin merawat Rara sampai besar.

Vivi menyibakkan selimutnya, ia langsung melompat turun dari ranjang, tapi karena lukanya masih belum kering dan ia masih harus beristirahat di ranjang. Gerakannya yang tiba-tiba mungkin membuat lukanya sedikit terbuka.

KatarsisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang