Chapter 9

8.7K 502 71
                                    

Chapter 9 : Seredipity

•••

Matahari sudah digantikan bulan, diruang rawat Kei sudah ada semua orang. Ralat— yang diruangan khusus pasien hanya ada Xavier yang duduk dipinggir ranjang pesakitan adiknya. Agam, Kenan, Ifan, Gavin, Adrian, dan bi Asih menunggu diruangan sebelah tepatnya ruang istirahat untuk keluarga.

Xavier terus mengusap lembut kepala Kei yang diperban, ia hanya ingin Kei bangun. Penampilnya sudah terlihat seperti zombie, Tapi tak ia pedulikan. Kantung mata yang menghitam, ia bahkan tak ganti baju dari 2 hari yang lalu. Tak ada yang bisa menyuruh anak itu, Xavier tetap kekeh ingin menjaga Kei.

Xavier tersenyum, ia sedari tadi meneliti wajah sang adik. Kei terlelap dengan mulut yang sedikit terbuka. Xavier baru sadar, wajah adiknya itu sangat tampan dan imut, walaupun rona pucat selalu menghiasi wajahnya.

"Eungh.."

Lengguhan lirih Kei mampu membuat Xavier menahan nafas sejenak, dengan sayang ia mengusap surai lepek adiknya.

"Adek..." ucapnya lembut.

Kei mengerjapkan mata pelan, lampu kamar rawat benar-benar menyilaukan baginya. Biasanya Kei selalu menyanyai Xavier, namun untuk sekarang, suara seakan tercekat ditenggorokan.

Mendengar ucapan seseorang, Kei lalu mengalihkan pandangannya memandang Xavier dengan mata yang terlampau sayu. Jauh dilubuk hatinya, Ia bahagia. Sangat bahagia menyadari Xavier yang ada didekatnya saat ia membuka mata.

Air mata meluncur bebas dari ujung matanya, air mata yang menggambarkan kebahagiaan dan juga rasa sakitnya. Kei juga tak mau bohong, tubuhnya terasa sangat sakit. Tenggorokannya perih, dadanya sesak, dan tubuhnya terasa dipelintir secara bersamaan.

Ia ingin sekali memeluk Xavier, namun badannya terasa sangat lemas. Jangankan untuk bergerak, untuk berbicara saja rasanya ia tak bisa. Yang bisa Kei lakukan hanyalah mengedipkan matanya saja.

Melihat sang adik menangis, membuat hati Xavier sakit. Ia tersenyum lembut lalu mengusap air mata Kei menggunakan ibu jarinya.

Dan ah... Kei baru sadar, tatapan tajam nan sinis yang sedari dulu Xavier berikan untuknya telah hilang digantikan oleh tatapan Khawatir, Rindu, dan sayang yang teramat besar.

Xavier mencium kening Kei lama lalu berbisik ditelinga kanan sang adik. "Makasih, makasih lo udah mau bangun."

Agam dan yang lain sedari tadi diam memperhatikan, mereka memberi waktu bagi kedua kakak beradik itu memperbaiki hubungannya.

Lagi-lagi kristal bening meluncur bebas dari netra indah Kei. "Kk-a..."

Xavier tersenyum. "Hm?" Ia lalu merendahkan tubuhnya, membawa tubuh kecil Kei kedalam pelukannya dengan sangat hati-hati seolah Kei adalah barang yang rapuh dan akan hancur jika ia memeluknya terlalu keras.

"Makasih dek, makasih..." ucapnya berbisik.

Xavier sedari tadi mengumamkan terimakasih kepada sang adik karena sudah mau berjuang untuk bangun. Ia lalu mencium pipi Kei yang tidak tertutup oleh masker oksigen dan menghirup aroma khas Kei yang sudah bercampur dengan bau antiseptik dan berbagai macam jenis obat-obatan di ceruk leher Kei.

Kei sedikit tertegun mendengar pernyataan Xavier, namun ini yang ia tunggu dari 2 tahun yang lalu. Ia mengangguk lemah sebagai jawaban, Xavier lalu melepaskan pelukannya dan mengusap air mata sang adik.

Xavier lalu memencet tombol merah disamping ranjang Kei, tak butuh waktu lama dokter Yuda dan 2 orang perawat datang.

Dokter Yuda memeriksa seluruh kondisi Kei secara detail, ia lalu melepaskan masker oksigennya karna Kei yang meminta. Tak bisa dibohongi nafas anak itu masih terdengar memberat, dokter Yuda lalu memasangkan selang oksigen dihidungnya.

K E ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang