Mereka bertaut, tetapi tak pernah mengikat diri dengan serabut. Membiarkannya mengalir seperti air sungai. Mereka menyaksikan seluruh pertunjukan-pertunjukan dunia melalui jendela yang sama kendati tak punya hak untuk saling menyebut nama. Tak takut terbawa arus, sebab mereka tahu jika kendali penuh ada di tangan masing-masing.
Namjoon dan Jisoo terbiasa bersama, tetapi menikah bukanlah tujuan mereka berdua hidup di dunia. Ikatan merepotkan itu membebani jiwa-jiwa mereka yang haus debu-debu metropolitan. Otak mereka lebih mendamba deret laporan pekerjaan di kala lembur menyambar hari ketimbang tepuk tangan usai mengikat tali suci di kemudian hari. Mereka mendamba kebersamaan, tetapi sekali lagi, menikah bukan jalan keluar yang mereka pilih.
“Soo-ya, kau tidak bekerja?” Namjoon mengusap kepala Jisoo, sesekali pula bubuhi kecupan di pelipisnya yang berminyak. Wajah Jisoo bengkak tiap kali wanita itu kembali ke bumi. Namun demi Tuhan, ia cantik sekali di mata Namjoon.
Tinggal di atap yang sama tanpa embel-embel julukan suami atau istri bukan hal mudah. Dahulu, mereka kerap kali jadi bahan gunjing. Namun, mereka punya dua tangan untuk menutup telinga, jadi rasa-rasanya bodoh sekali bila masih memikirkan ucapan-ucapan kasar dari penghuni samping atau depan rumah.
Jisoo menggeliat kecil ketika merasakan kecupan Namjoon menyentuh lehernya. “Joon, sudah jam berapa?” Tanpa membuka mata.
Namjoon tertawa samar. “Kau masih memiliki tiga puluh lima menit untuk bersiap-siap. Lekaslah mandi, Soo-ya.”
Namjoon menyukai Jisoo dengan sangat. Cara Jisoo berkedip saja bisa membuat dia terus memuji Tuhan yang baik sekali mau menurunkan Jisoo di garis edarnya. Jisoo kelewatan cantik, cerdas pula, gigih bekerja. Tidak akan ada yang bisa menolak Jisoo, tentu saja. Omong-omong, dia dan Jisoo telah sepakat tinggal di bawah atap yang sama tanpa ikatan ini sudah lebih dari dua tahun gugur di belakang hari. Sejauh ini tidak ada hal yang dia atau Jisoo takutkan. Masih ada batasan-batasan yang tak bisa dia atau Jisoo lewati, sebab kotak privasi begitu mereka lindungi di sini.
“Joon, apakah kita perlu menikah?” gumam Jisoo yang masih dalam posisi setengah sadar. Dua tangannya bergerak kasar mengusap sepasang kelopak mata secara abstrak. Ia tidak tahu dari mana pertanyaan aneh itu berasal, tetapi ia cukup yakin kalau itu ada hubungannya dengan ucapan-ucapan kasar deretan para tetangga. Seakan baru tersadar, ia lekas mengimbuhkan, “Ah, lupakan saja. Maaf, Joon. Aku begitu kacau.”
“Kita masih dua insan yang berbeda,” ujar Namjoon. Dia menjatuhkan pandangan pada kelopak mata Jisoo yang masih layu disiram sinar mentari samar-samar. “Kau ingin sendiri, maka aku tidak boleh memaksamu untuk melewati batas itu. Begitu juga sebaliknya. Kita masih sama, Soo-ya. Jangan biarkan ketakutan-ketakutan yang berbisik itu menghasut akal sehatmu.”
“Kalimat mereka membuatku banyak berpikir, Joon.” Jisoo menarik selimut hingga tutupi perpotongan leher. Klavikulanya memerah seperti ceri gara-gara ulah Namjoon. Tidak masalah, ia suka. “Apakah menjadi berbeda itu salah?”
“Mereka terlalu sibuk menilai kita. Sampai mereka lupa bahwa manusia tidak punya hak untuk mengintimidasi walau bersembunyi di balik kata mengoreksi.”
Namjoon tetap Namjoon. Pendiriannya yang kuat membuat Jisoo punya banyak alasan untuk jatuh cinta. Jatuh lagi, kemudian jatuh sekali lagi sampai sayap-sayapnya patah. Namun di ujung jalan ia selalu menemukan Namjoon yang tersenyum seraya mengulurkan sayap-sayapnya yang sama patah untuk ia genggam dan pinjam. Hingga, jika sebuah tanya hinggap semena-mena seperti sekarang, ia akan selalu punya jawabannya; itu Namjoon.
🦋

KAMU SEDANG MEMBACA
Your Eyes Tell
Short StoryFt. BTS - Blackpink Okular larap berdiskusi di penghujung kisah yang telah lampau melewati konklusi. Mereka memang tak menemukan tamat dalam barisan narasi, tetapi mereka menjumpai petuah renta di setiap akhir senja yang kian menua pada pertemuan ga...