Sunday - Yoonnie

146 15 0
                                    

    Katanya, orang sukses itu yang punya banyak gelar di selip sebuah nama.

    Katanya juga, orang sukses itu riwayat tamat pendidikannya tinggi—kebanyakan pula lulusan luar negeri.

    Namun bagi Yoongi, orang sukses itu adalah yang paling handal dan mampu menciptakan kesinambungan antara baik dan buruk; sekarang dan masa mendatang. Sebab, kesuksesan datang dari siapa saja yang memiliki niat. Semua orang mempunyai kesempatan yang serupa, hanya saja terkadang ada yang salah kaprah sampai salah arah.

    Contoh saja Yoongi, dia bukan lulusan luar negeri seperti Namjoon si tetangga unit sebelah. Dia bukan orang berbakat seperti Taehyung si sok tampan yang tinggal di depan. Dia juga bukan Jungkook yang terlahir dari keluarga kaya sampai bisa menyokong kehidupannya hingga anak cucu kelak. Tidak, dia biasa-biasa saja.

    Di sofa panjang berwarna cokelat hangat, ada setumpuk kertas coretan yang sejak tadi lusuh akibat tertindih. Tepat di sampingnya, ada Jennie yang tertidur pulas seusai menggambar satu buah pakaian musim panas di satu lembar kertas.

    Dahulu, sebelum memutuskan untuk menikah bersama Jennie yang sedang berada di puncak karier, banyak sekali hal yang dia pertimbangkan. Bahkan di awal masa pendekatan sekalipun, dia terus berpikir untuk mengimbangi kerja Jennie. Wanita berparas cantik yang sudah menjadi istrinya sejak dua tahun lalu itu banyak mengajarkan dia perihal caranya bersyukur dan berhenti bermalas-malasan di hari Minggu, terutama. Jennie tak pernah malu mengakui keberadaannya, kendati dia hanya seorang vokalis band lokal yang cuma punya panggung di kafe-kafe kecil saja.

    Di sana, lampu ruang tengah menyorot wajah lelah Jennie yang berkeringat. Jemarinya meletakkan anak surai Jennie ke belakang telinga, lantas mengecup kilat pipi berisi Jennie yang sedikit berminyak.

    "Terkadang, aku malu karena dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja," gumam Yoongi, "pekerjaanku tidak banyak menghasilkan uang. Wajahku tidak setampan Seokjin. Aku juga tidak sepopuler Hoseok."

    Ketika Yoongi hendak kembali berucap, seketika dua kelopak mata Jennie terangkat. Bibir Jennie mengulas senyum, salah satu tangannya naik menyentuh rahang Yoongi. "Kau kedapatan menangis, lagi," sergahnya seraya mengusap bulir air bening yang jatuh pada pipi kiri Yoongi menggunakan ibu jari. "Hari Minggu, harusnya kau membuatkanku roti madu. Kenapa malah menangis di sini, hum?"

    "Maaf."

    Berkali-kali Yoongi meminta maaf di hari yang sama, tepatnya Minggu. Yoongi terus merasa seakan lelaki itu telah membawa Jennie ke dalam neraka. Padahal, hidup berdua dengan Yoongi saja sudah membuatnya bahagia. Terdengar tidak masuk akal, memang. Apalagi zaman sekarang manusia butuh uang untuk hidup. Namun selagi Yoongi terus berusaha, ia juga akan terus menghargainya. Toh, Yoongi sudah berusaha keras, bukan?

    Ia bangkit dari posisi tidur. Memeluk Yoongi, mengusap bahu lebar lelaki yang paling ia cintai setelah sang ayah. "Kau sudah mengusahakan yang terbaik, Nji. Tidak ada yang perlu kita bahas tentang ini."

    Yoongi tahu, Jennie akan terus berkata begitu. Akan tetapi, sifat manusia 'kan memang suka membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Jadi tidak salah kalau dia merasa rendah kendati telah berpayah diri untuk bersikap seakan dia baik-baik saja.

    "Terima kasih kepada Tuhan karena istriku adalah kau, Ni."

    Jennie memukul bahu Yoongi sekilas. "Apa, sih?" ujarnya, tersipu malu.

    Sejak dahulu, Jennie selalu memimpikan nasibnya tidak terulang kepada sang anak dan sang suami. Sebisa mungkin ia selalu menghargai apa saja yang Areum dan Yoongi lakukan walau hanya tindakan kecil saja. Ia berusaha untuk tidak membandingkan mereka dengan siapa-siapa saja atas hasil yang mereka capai. Sebab ia tahu bagaimana rasanya dibandingkan dan tidak dihargai.

    Memang, mungkin dahulu orang tuanya tidak bermaksud membuat ia merasa 'kecil', tetapi secara tidak sadar, sikap mereka yang terus memberi Jennie semacam ekspektasi untuk menjadi hebat ternyata dapat membuat ia tersakiti secara mental. Dan sebagai ibu dan istri yang baik, ia tidak ingin Areum dan Yoongi merasakan hal yang serupa.

    "Ya ... aku hanya merasa beruntung saja. Sebab, sampai detik ini pun, kau belum menuntut apa-apa dariku—kecuali roti madu setiap hari Minggu."
   
    Jennie mengulum senyum. Mengurai pelukan, lalu menatap Yoongi lurus-lurus. "Areum dan aku sangat bangga memilikimu, Nji."

    "Begitupun dengan kami; aku dan Areum sangat bangga sekali memilikimu sebagai cahaya kami di sini, Ni."

🦋

Your Eyes TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang