Hari mulai menggelap, langit yang tadinya sangat cerah kini tinggal semburat oren, pantai kini sudah sepi, tidak ada lagi suara anak anak berlarian, hanya suara mesin kapal nelayan yang baru kembali ke darat karena hari sudah ingin berganti menjadi malam, waktunya mereka istirahat.
Aku tengah duduk di ayunan kayu yang mengarah langsung ke pantai, teman teman ku sengaja menyewa villa yang dekat dengan pantai supaya terasa jika sedang berada dipantai katanya, padahal jika air sedang naik mereka duluan yang terhempas ombak.
Fiza sudah bertemu dengan Langit tadi sore dan sekarang mereka tengah berjalan jalan entah kemana, sedangkan yang lain tengah mengistirahatkan dan membersihkan diri karena nanti malam ada acara Barbeque-an katanya.
Aku memerhatikan langit yang sangat indah karena warnanya yang bercampur menjadi satu ada biru tua, jingga, oren pekat dan ke ungu unguan.
Matahari sebentar lagi akan terbenam lalu hilang, berganti menjadi bulan dan bintang bintang, banyak yang menyukai senja karena warnanya dan banyak juga yang membenci karena kedatangannya yang singkat.
Terkadang aku heran padahal tidak perlu membenci senja karena nanti juga sewaktu waktu ia akan datang kembali walaupun hanya sesaat.
"Saya adalah senja yang sama dengan yang kamu nikmati sekarang, senja yang tak berani mengucapkan kata selamat tinggal dan malah memilih pergi tanpa memberi aba aba"
Jantung ku berdebar, jika tubuh ku diibaratkan sebagai robot mungkin tubuh ku baru saja tersiram air, mesin mesin yang berada didalam tubuh ku koslet seketika, diam, membisu, tidak merasakan apa apa.
Aku tidak berani untuk mencari arah suara itu, mungkin ini mimpi, iya! Ini pasti mimpi lagi. Aku mengucek ngucek mata ku ternyata ini bukan mimpi! Ini sungguhan! Tapi suara itu? Tidak mungkin!
"Ini saya, Gis"
Entah perintah dari siapa aku refleks menoleh ke arah kanan, jantung ku berhenti berdetak, kaki ku lemas, mata ku tidak berkedip ketika jatuh dalam sorot matanya yang ku gunakan untuk menaruh segala kerinduan, walaupun sudah lama tak bertemu tetapi aku bisa mengenalinya karena cuma ada beberapa perubahan di dirinya yaitu tinggi badannya yang sekarang sangat tinggi, wajahnya yang sudah tidak seperti anak kecil lagi, dan–rambutnya yang sedikit gondrong.
"Ga-gama" entah dapat kekuatan dari mana aku berani memanggil namanya setelah bertahun tahun nama itu terkubur di dasar kenangan.
Gama masih mematung ditempatnya, menatap ku dengan seulas senyum khasnya, Aku menatapnya lekat lekat, menyampaikan pesan rindu tanpa ucap, menuju kotak paling nyaman menyimpan semua rasa.
"Diliatin doang mana kenyang, Gis" Ucapnya.
"Gaaam.." Ucap ku dalam hati, tidak habis pikir disaat seperti ini dia bisa bisanya meledek ku, seperti anak kecil yang tidak punya dosa.
Ternyata dirinya masih sama seperti dulu, Gama Arsana yang terkadang suka sekali menggombal, membuat lelucon jayus, menyebalkan, pokoknya jika disebutkan tidak habis sampai gulungan kertas sepanjang 1 meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Padam Tidak Pudar
Teen FictionSelamat membaca! "Silahkan putar lagu galau terbaik anda"