16} Bukan Akhir Perjalanan

635 100 18
                                    

Diluar rumah, langit menampilkan dengan senyuman cerah. Awan-awan tipis bagai goresan estetik yang menghiasi. Beberapa lebah, berhenti terbang ketika melirik sebuah tangkai bunga yang dapat mencuri hatinya.

Cahaya matahari siang ini cukup bagus, bagi semua orang yang tak henti dari segala aktivitas rumah.

"Aisyah tutup ya, Nek."

"Muhun.."

Tangan Aisyah memutari kran air untuk menutup. Setelah itu, ia membantu Silma menggulung selang air sehabis mereka menyirami tanaman rumah.

"Ya Gusti Aisyah.. Liat tuh rokna." Silma mendapati bawahan Aisyah basah oleh air. Kenapa cucunya ini tidak menjaga pakaiannya, sih?

"Hente na-naon, Nek. Nanti juga kering sama angin." membela diri Aisyah sambil melihati keadaan rok panjangnya.

Kemudian, Silma mengajak Aisyah tuk istirahat di kursi teras setelah menyirami banyaknya tanaman miliknya.

"Langitnya bagus ya, Nek." Aisyah tersenyum memandangi bentangan langit yang cerah dimatanya.

"Alhamdulillah, meni caang karna entos siang." Silma mengipaskan kepalanya dengan kipasan bambu. "kamu betah didieu?" melirik Aisyah.

"Em," Aisyah mengangguk senyum. "seneng banget bisa kesini lagi setelah sekian tahun."

Ketawa kecil Silma mendengarnya.

"Harus atuh.. Kamu teh asli orang dieu.. Lahirnya juga didieu." ujar Silma sambil terus mengipas. Ia masih sangat teringat hari dimana ketika Aisyah baru lahir. Cucu cantiknya itu, lahir di rumah ini ketika Marwah selesai sholat dhuha. Semua orang panik dan buru-buru panggil bidan setempat. Dan alhamdulillah, cucunya ini lahir dengan normal dengan suara tangisan bayinya. Ya, seperti itulah kisah heroik yang begitu menegangkan ketika itu.

"Iya." Aisyah melihati wajah Neneknya yang tengah tersenyum memandangi langit. Entahlah, tiba-tiba hatinya menjadi lega. Neneknya ini seperti sudah benar-benar membaik dan tidak merasakan sakit lagi seperti beberapa waktu lalu. Hem, ia senang jika sudah begini.

Aisyah mengalihkan kepalanya pada sekitar. Ia melihati rumah-rumah tetangga dari kursi teras ini. Seiring ia pandangi sekitar, ia menemukan sebuah pohon mangga disalah satu rumah tetangga.

Ia sipitkan matanya, mangga-mangga itu seperti belum matang dan banyak yang masih berukuran kecil. "Sekarang belum musim mangga ya, Nek?"

"Musim mangga? Belum atuh.. Nunggu sebulanan deui.."

"Ooh.." angguk-angguk Aisyah.

"Kamu mau mangga?" datang suara Harist yang keluar dari dalam rumah bersama Abdullah.

"Ah?" Aisyah menengok kesamping sudah ada suaminya berdiri dan barusan melempar pertanyaan padanya. "yaa.. Kalo ada sih, aku mau." main jari Aisyah tak bisa bohong. "tapi.. aku maunya mangga yang masih muda." gigit bibir.

"Loba atuh kalo mangga muda.. karana teh belum panen." ucap Abdullah.

"Beli dimana, ya?" berpikir Harist.

"Ulah beli.." langsung melarang Abdullah. "Kakek punya loba di kebon. Hayuk, kalo bade ambil." Abdullah berjalan memakai sandal.

"Oh Siap, Kek! Aku ambil dulu, yah." mengusap kepala Aisyah.

"Em, makasih, Bib!"

Harist segera memakai sandal juga dan menyusul Kakek yang sudah di pagar rumah.

Disana kebun sana, terdapat dua pohon mangga milik Abdullah. Ternyata, seriing berjalan kesana, lokasinya berbeda seperti sebelumnya. Harist kira, ia akan menuruni jurang lagi seperti kemarin, ternyata tidak. Tempatnya sangat dekat hanya melewati beberapa rumah tetangga saja.

Meet Grandmother (siswi bercadar season 2) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang