Sudah dua hari sejak peristiwa itu. Spencer menghilang setelah menerima satu juta Euro tunai. Vanessa merasa lega, sekaligus lemah lunglai. Cairan yang diminumkan padanya malam itu tidak hanya membunuh janin yang dikandungnya, melainkan juga seolah membuat seluruh organ dalam tubuhnya tercabut keluar. Vanessa tidak punya pilihan selain berbaring di tempat tidur.
Setelah janin tanpa dosa itu disingkirkan, Vanessa kehilangan cukup banyak darah malam itu. Spencer membawanya ke sebuah rumah kayu di luar kota, nyaris ke arah hutan. Seorang perempuan paruh baya tinggal di sana, bersama dengan anjing-anjing penjaga dan ratusan stoples berisi tumbuh-tumbuhan yang diawetkan. Perempuan berpenampilan lusuh itu tersenyum dingin saat mereka muncul. "Kesalahan fatal," katanya langsung dan dingin.
Dari air mukanya, perempuan itu sepertinya tidak mengenal Vanessa. Dia mempersilakan mereka masuk kemudian menggulung rambut panjangnya. "Seharusnya kalian berpikir sebelum berbuat," lanjutnya sambil beranjak ke dapur. Dia mengambil salah satu stoples berisi tumbuhan awetan.
"Kami datang tidak untuk minta nasihat, Medea," balas Spencer. "Lakukan saja seperti biasa."
"Seperti biasa?" bisik Vanessa. Dia mulai panik. "Kamu biasa membawa para perempuan ke sini?"
Spencer mengangkat bahu. "Asal harganya cocok," katanya sambil lalu. "Aku adalah pemberes skandal. Itu pekerjaanku." Dia menatap Vanessa. "Tenang saja. Ini adalah kali pertama aku jadi pasien, jika kamu merasa cemburu."
"Cemburu?" Intonasi suara Vanessa meninggi. "Enak saja! Kamu pikir ..."
"Jangan ribut di tengah hutan," sela Medea. Dia kembali dari dapur dengan cangkir berisi cairan mengepul. Dengan rambut digulung, Vanessa bisa melihat wajah cantik tersembunyi di balik penampilan Medea yang lusuh. Perempuan itu terlihat seperti penyihir dalam dongeng yang tidak berakhir bahagia. "Minum ini, lalu berbaringlah di sana," katanya sambil menunjuk sebuah ranjang di pinggir ruangan.
Vanessa menerima minuman itu tanpa kata. Ditunggunya kepulan uap air menyusut dan menghilang, kemudian dengan perlahan diminumnya cairan itu. Vanessa mengernyit menahan pahit dan rasa panas yang tiba-tiba muncul. Dia terbatuk nyaris muntah.
"Habiskan!" perintah Medea singkat. Dia berjalan menuju ranjang. "Cepatlah. Tidak ada banyak waktu."
Vanessa patuh. Dengan bantuan Spencer yang berinisiatif memijati bahunya, Vanessa berhasil menghabiskan minuman tersebut. Setelahnya, rasa sakit yang amat sangat segera mendera sekujur tubuh Vanessa. Spencer dengan sigap mengangkat gadis itu dan membaringkannya di ranjang. Vanessa meronta kesakitan. Dia berteriak. Tubuhnya serasa dirobek menjadi banyak bagian. "Aaarrrggghhh!!!" teriaknya ke seluruh penjuru rumah. "Sakit sekali!!!"
"Tahan!" perintah Medea. Dia mengedik, memerintahkan Spencer untuk mengambil wadah yang telah disediakan. Pria itu patuh. "Setelah ini selesai."
"Tolong ..." bisik Vanessa kesakitan. "Aku serasa akan mati."
"Tentu saja," balas Medea tanpa perasaan. "Kamu sedang membunuh bagian dari dirimu sendiri."
Spencer kembali dengan wadah yang dimaksud. Medea memijati area perut Vanessa yang makin kesakitan. Darah mulai mengalir keluar, diikuti gumpalan-gumpalan yang seharusnya bisa menjadi manusia utuh. Malam itu, semuanya keluar diikuti darah yang mengalir deras. Rasa sakit Vanessa perlahan menghilang, menyisakan rasa lemah yang luar biasa. Darah masih mengalir.
Medea memasangkan pembalut pasca melahirkan untuk menghentikan pendarahan. Dia kemudian meminumkan secangkir cairan dingin yang membuat Vanessa perlahan kehilangan kesadaran, sementara Spencer menghilang untuk membuang isi wadah di luar rumah.
Begitu Vanessa sadar, dia mendapati dirinya telah bersih begitu juga ranjang Medea. Perempuan itu memberikan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa pil berwarna hijau. "Minum ini selama seminggu. Setelahnya, kamu akan pulih perlahan," perintahnya. "Ini bisa membangun kembali sel darahmu."
"Ayo, kita harus pulang," kata Spencer akhirnya. Dia mengangkat Vanessa dan membawanya keluar dari rumah. Pria itu membaringkan Vanessa di jok belakang mobil lalu tancap gas tanpa permisi, tanpa maaf dan tanpa ucapan terima kasih pada Medea.
Sekarang Vanessa kehilangan kekuatan untuk berdiri. Medea bilang dia akan pulih dalam waktu seminggu. Semoga saja dukun itu benar.
***
Malam itu, setelah kepulangan Vanessa dan Spencer yang tergesa-gesa, Medea tidak langsung beristirahat. Dia memandangi kepergian dua orang itu tanpa ekspresi. Medea menghela napas. Diamatinya sekeliling rumah yang kembali tenang. Perempuan itu memejamkan mata sejenak. "Apa maumu sekarang, Sterling?" tanyanya datar.
Sesosok pria paruh baya dengan postur tegap, muncul dari belakang rumah. "Apa yang dilakukan Vanessa Westmore dan Spencer si pembunuh bayaran itu di sini?" Dia masuk ke dalam rumah tanpa permisi. "Membunuh?"
"Begitulah," jawab Medea. "Dan kamu, siapa lagi yang ingin kamu bunuh, Commander?"
Sterling tertawa kecil. "Kali ini, aku ingin kamu membuat sebuah karya seni, Medea."
Medea menutup pintu. "Menarik," komentarnya. "Berapa lama?"
"Kalau bisa malam ini. Aku akan menunggu," lanjut Sterling. Dia mengeluarkan sebuah gulungan gambar. "Tiruan yang sangat mirip. Seluruh detailnya ada di sini. Aku tahu kamu bisa."
Medea mengamati gambar tersebut lalu membentangkannya di meja kerja yang terbuat dari kayu. Tanpa banyak tanya, dia segera mengeluarkan material yang dibutuhkan seperti yang tertera pada gambar. Tidak lama kemudian, tangan terampilnya telah sibuk bekerja tanpa kenal lelah. Tidak ada suara percakapan. Hening meliputi seluruh rumah, seperti biasa jika Sterling berkunjung.
Sterling memperhatikan Medea bekerja. Tatapan kagumnya tidak pernah boleh ditunjukkan selama puluhan tahun mereka saling mengenal. Medea tidak berubah sedikit pun. Dia tetap cantik dan misterius, memilih untuk hidup di tengan hutan, jauh dari hiruk pikuk Ibukota.
"Kopi ada di lemari dapur," kata Medea akhirnya. "Buatlah sendiri. Menunggu itu membosankan, Commander."
"Aku tidak pernah bosan menunggumu," balas Sterling. Dia beranjak ke dapur untuk menyeduh kopi. "Tapi waktuku kali ini memang tidak banyak."
Medea tidak menjawab. Dia hanya mengangkat alis, pertanda telah terbiasa mendengar kalimat itu. Tangannya terus bekerja. Benda yang diminta Sterling memiliki detail yang rumit. Namun, Medea menyukai kerumitan benda-benda. Kerumitan itu bisa membuatnya menghindar dari kerumitan manusia.
"Katakan sesuatu." Sterling kembali dari dapur. Dia menyodorkan secangkir kopi pada Medea. "Katakan sesuatu agar aku tidak merasa seperti orang gila yang bicara sendiri, Medea."
Medea tertawa kecil. "Bukankah di duniamu, bicara sama sekali tidak dibutuhkan, Commander Brayden Sterling?" sindirnya. "Butuh waktu puluhan tahun untuk mengerti?"
Sterling duduk di hadapan Medea. "Mungkin karena itu kita sering tidak sepaham."
"Kapan kita pernah sepaham?"
"Medea ..."
"Hentikan, Commander. Ini belum waktunya pensiun dan merayu seorang dukun."
"Kamu ternyata masih sangat marah."
"Karena itu jangan memancingku, Brayden. Jalan kita sudah jauh berbeda." Medea kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya. Perempuan itu sama sekali tidak menyentuh kopi yang diberikan Sterling.
Di tengah hutan ini, di sebuah rumah kayu yang dihuni seorang perempuan cantik berpenampilan lusuh, rahasia terdalam Kepala Intelijen Ottoka Raya tersimpan. Hanya Medea yang mampu membuat Sterling kehilangan kata, dan juga hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen 2: Her Majesty
Romance©anita-daniel (2020). Karya ini dilindungi oleh UU Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Segala bentuk penjiplakan, pencatutan, penggandaan dan pendistribusian tanpa ijin akan dipidanakan. *** [ON GOING] Ini adalah buku ke 2 seri...