Part 8 - Pembicaraan

161 32 0
                                    

Commander Brayden Sterling menatap Ivana sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Saya tidak bisa memberikan identitas pembuatnya, Yang Mulia. Satu hal pasti yang bisa anda pegang adalah bahwa kami bekerja untuk anda."

"Saya percaya itu." Ivana balas mengangguk dengan rasa terima kasih. "Kita tunggu bagaimana hasilnya. Royal Navy telah disusupi, itu yang pasti. Hilangnya ... benda itu hanyalah sebuah peringatan awal untuk sebuah rencana. Kita tidak akan biarkan itu terjadi."

"Strategi anda sangat bagus, Yang Mulia. Saya akui, dengan bersikap biasa tanpa rasa kehilangan, akan membuat pelakunya kesal sendiri. Kita tunggu saat di mana dia akan bersikap gegabah."

"Terima kasih atas bantuan anda, Commander," kata Ivana lagi. "Selanjutnya, aku mengandalkan intelijen, tanpa perlu suara."

Sterling memberi hormat. Dia bersiap untuk meninggalkan ruangan saat tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah iya, Yang Mulia. Satu hal lagi, entah bagi anda penting atau tidak. Nona Westmore menemui seseorang untuk melakukan aborsi, dua malam yang lalu. Dia datang diantar seorang penjahat berbahaya."

Ivana mengerutkan kening. "Rumah sakit? Aborsi? Itu ilegal, kecuali dengan ... tunggu! Seseorang katamu? Hmmm ... seseorang yang juga kamu kenal?"

Sterling tersenyum misterius. "Sampai jumpa lagi, Yang Mulia," katanya memberi hormat lalu menghilang di salah satu dinding tanpa menjawab pertanyaan Ivana.

Ivana mengangkat alis. Dia memutuskan untuk mengabaikan berita terakhir yang disampaikan Sterling. Kasus hilangnya stempel resmi milik Royal Navy telah cukup menyita perhatian. Ivana telah melakukan segala hal yang dia bisa. Semoga Bastian bisa menemukan pelakunya segera.

Ratu itu membuka laci lalu mengeluarkan selembar kertas. Dia mulai menulis surat dengan tulisan tangan yang sangat rapi. Perdana Menteri Howard telah menghubungi. Meski telah menyatakan persetujuan, Ibu tetap harus dijemput dengan surat resmi. Kali ini, Ivana yang harus membuatnya, untuk menggantikan Bastian. Yang Mulia Raja dari Ottoka itu harus menjalani latihan harian bersama Royal Military. Dia tidak bisa diganggu gugat sampai sore.

***

Dia membuka lemari lalu mengambil benda itu. Sial! Apakah ini stempel palsu? Baik Royal Navy maupun pihak istana tidak terlihat kehilangan. Tidak ada rapat mendadak maupun pengumuman darurat akan adanya penyusup. Namun, yang paling mencengangkan baginya adalah kenyataan bahwa ada stempel lain di ruangan Deputi Clarke.

Apakah yang selama ini terpajang adalah asli? Atau mungkin justru itu stempel tipuan? Stempel mana yang tipuan? Ada berapa banyak stempel di istana dan seluruh institusi resminya? Dia harus mencari tahu lebih banyak. Pertaruhannya adalah nyawa. Dia telah menyusup sejauh ini. Tidak ada jalan lain, selain keluar sebagai pemenang.

Sial!

***

"Oke, anggap saja ini ajang untuk mengenal lebih jauh." Riley mengaduk kopinya. "Silakan, Bu Dubes. Beri aku alasan untuk memanggilmu hanya dengan Liz."

Liz tertawa. "Tentu saja karena aku yang memintanya, Riley. Tapi jika kamu ingin alasan, baiklah, anggap saja mulai sekarang kita akrab."

Riley balas tertawa. Mereka berada di ruangan privat sebuah restoran, jauh dari wartawan dan paparazzi. "Maafkan aku karena menganggap permintaan tersebut diajukan agar kamu punya alasan memanggilku dengan Riley saja."

"Oh, baiklah, Admiral. Jika anda keberatan ..."

"Tentu saja tidak," potong Riley segera. "Aku cuma bercanda, Liz. Sebuah kehormatan untuk bisa menjadi sahabat seorang Duta Besar."

"Tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang laksamana hebat milik kerajaan Ottoka yang telah melakukan pelayaran perdamaian sepanjang hidupnya," lanjut Liz. "Dan aku tidak akan berhenti memuji sebelum kamu juga berhenti, Riley."

Riley terkekeh. "Aku harap kamu tidak baca tabloid."

"Tentu saja aku baca," senyum Liz. "Kamu dan Nona Westmore ..."

"Oke, oke," sela Riley geli. "Jika kamu butuh konfirmasi, kami tidak ada hubungan apa-apa. Cuma kenalan biasa dari istana."

Liz masih tersenyum. "Wartawan terus mengejarmu meminta konfirmasi, tapi kemudian berita itu reda sendiri saat kamu melakukan pelayaran terakhir. Kamu tidak punya waktu untuk sensasi."

"Ottoka tidak boleh dikenal sebagai negara yang memiliki admiral penuh drama," kata Riley tegas. "Tapi kurasa kita di sini tidak untuk bicara tentangku."

Liz mengangkat bahu. "Kita hanya sedang menghabiskan waktu dengan perbincangan yang sepertinya membosankan bagimu, Riley. Aku menyesal membuat rencana. Perbincangan spontan akan jauh lebih menyenangkan."

"Bukan begitu," tukas Riley. "Aku sama sekali tidak bosan. Maaf, Liz. Aku mungkin terlalu memikirkan pekerjaan. Banyak laporan yang harus diselesaikan segera. Kurasa kamu juga begitu." Dia melirik jam tangan dengan tatapan menyesal. "Sebagai abdi negara, aku harus menyelesaikan tugas dengan penuh tanggung jawab."

Liz menatap Riley dengan mata berkilau. "Ah, aku suka laki-laki yang tidak banyak omong. Baiklah, Admiral. Kamu kuizinkan meninggalkan tempat."

Riley mengeluarkan kartu kreditnya lalu memberi kode pada salah seorang pelayan. Dia mengembuskan napas. "Percakapan yang menyenangkan, Bu Dubes. Terima kasih untuk dansa tempo hari."

"Akulah yang berterima kasih, Riley. Kita bicara lagi kapan-kapan."

Keduanya meninggalkan restoran dan pembicaraan ngalor-ngidul itu. Mereka pulang dengan mobil terpisah. Riley kembali ke apartemen mewahnya. Dia memutuskan untuk sejenak beristirahat setelah menghapus beberapa pesan dari Vanessa yang ditinggalkan di mesin penjawab. Riley tidak ingin diganggu.

Namun, dunia sepertinya tidak rela jika Riley sedikit bersantai. Ponselnya berdering sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi. Dia tertegun melihat nama yang muncul di layar. Nama ini mampu membuat Riley berkeliling dunia dan berlayar tanpa henti. Namun, nama ini juga berarti sesuatu yang cukup darurat telah terjadi hingga Riley harus dipanggil.

"Selamat siang, Yang Mulia Ratu," sapa Riley berdebar. Dari jumlah kontak yang terbatas di ponsel Ivana, Riley bangga menjadi salah satunya.

"Selamat siang, Admiral Howard," sapa Ivana. "Aku harap tidak mengganggu."

"Tentu tidak, Yang Mulia. Apa yang bisa saya bantu?"

"Kehadiran anda ditunggu di ruanganku sekarang juga, Admiral," kata Ivana singkat, tanpa intonasi mencolok.

"Segera hadir di sana, Yang Mulia."

Riley bergegas berganti pakaian. Sesaat kemudian, dia turun ke basement dan memacu mobilnya ke istana. Sesuatu yang penting telah terjadi. Dia bisa merasakannya.

Sementara di istana, Ivana mondar-mandir gelisah di ruangannya. Ratu itu telah mematikan CCTV ruangan. Dia tidak ingin terlihat panik oleh pihak keamanan. Sebuah pesan dari Sterling membuatnya terpaksa melupakan urusan stempel yang hilang. Pesan itu begitu tiba-tiba, dikirim via sambungan khusus intelijen.

Pengawal istana yang bertugas menjemput Ibu Suri tidak menghubungi dalam dua jam terakhir. Mobil mereka tidak bisa dilacak. Selain itu, mereka juga kehilangan kontak dengan istana musim dingin. Intelijen telah bergerak menyelidiki kemungkinan yang terjadi. Yang Mulia Raja sedang latihan bersama Royal Military di lokasi yang jauh dari sinyal.

Ivana memandangi pintu. Saat Bastian tidak bisa dihubungi, Riley adalah satu-satunya harapan.

***

The Queen 2: Her MajestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang