"Hanya Deputi Administrasi Royal Navy dan saya yang tahu sejauh ini, Yang Mulia." Riley mengisyaratkan bahwa dirinya mengerti maksud pembicaraan tertutup sore ini. Begitu masuk ke ruangan Bastian, dia segera memberi hormat dan mulai dengan kalimat tadi. "Tapi saya rasa, Kolonel Meyer dari keamanan dan pihak intelijen tentu sudah tahu."
"Jadi, Jenderal Bell belum tahu," angguk Bastian, ingin memastikan bahwa Kepala Royal Navy belum mendapat berita.
"Dipastikan belum, Yang Mulia. Deputi Clarke langsung menghubungi saya dan meminta semua ini dirahasiakan. Deputi akan segera berkoordinasi dengan pihak istana perihal ..." Riley tidak melanjutkan kalimatnya. Dia memilih untuk bersikap hati-hati.
Bastian beranjak dari kursi kerja lalu melangkah menuju jendela. Dia tersenyum sekilas saat melihat Ivana di luar sana, sedang berbincang dengan Deputi Clarke sambil menikmati sore musim semi. "Ratumu punya rencana, Admiral," katanya. "Tapi dia belum memberitahuku." Dia menoleh pada Riley. "Dan aku memilih untuk tidak menebak."
Tatapan Riley mendadak lembut begitu topik tentang Ivana disinggung. Sesaat kemudian, dia menyadari hal tersebut. Seraya mengatupkan rahang, tatapannya kembali berubah tegas. "Beliau ... Yang Mulia Ratu Ivana dari Ottoka, memilih untuk mengumumkan via televisi bahwa Raja baik-baik saja pasca penembakan. Beliau mengumumkan bahwa tembakan mengenai salah seorang pengawal, bukan Raja. Beliau memiliki seluruh cinta dari rakyat Ottoka. Apa pun yang keluar dari mulut Yang Mulia Ratu, pasti akan dipercaya dan disambut seluruh rakyat."
"Kamu benar, Admiral. Ivana lebih dicintai ketimbang aku."
"Anda memiliki seluruh cinta itu dengan porsi yang jauh lebih banyak, Yang Mulia, karena Ratu mencintai anda."
Bastian tersenyum lebar. "Kita akan tetap rahasiakan semuanya, Riley. Kita akan cari sendiri pelakunya, lalu eksekusi diam-diam."
"Dimengerti, Yang Mulia. Saya akan bantu dengan nyawa." Riley memberi hormat. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"
Bastian menggeleng. "Manuver dengan Duta Besar McKenzie yang kamu lakukan cukup mengagumkan. Aku tidak menyangka dia akan mendekatimu lebih dulu."
"Dia bahkan minta dipanggil Liz," sambung Riley. "Serta merta radar saya mengharuskan untuk waspada. Entah jenis pendekatan macam apa yang sedang dia lakukan. Saya berjanji untuk hati-hati."
"Berhati-hatilah, Riley. Aku tidak hanya bicara atas nama Raja. Aku bicara lebih atas nama seorang adik yang khawatir dengan keselamatan kakaknya. Ini adalah adu strategi di atas papan catur bernama politik."
Riley tersenyum tulus. Dipandanginya Bastian, Raja Ottoka yang telah dianggapnya adik kandung ini. Mereka tumbuh dewasa bersama. Tidak ada rahasia di antara keduanya, kecuali tentang rasa yang disimpan Riley untuk Ivana. "Aku mengerti, Bastian," katanya. "Sebagai kakak, aku tidak akan membuatmu khawatir. Akulah yang akan melindungi."
***
Ivana tersenyum manis begitu melihat Bastian. "Yang Mulia," sapanya memberi hormat. Ratu itu menutup pintu ruang kerja. "Sungguh tadi itu pembicaraan menyenangkan dengan Deputi Clarke."
Bastian balas tersenyum. Dia memberi isyarat agar Ivana duduk di sampingnya, di sofa ruang kerja. "Beliau bilang soal ..."
"Tidak." Ivana menggeleng. Dia duduk di samping Bastian. "Karena itu aku menyimpulkan bahwa hingga saat ini, beliau bisa dipercaya. Deputi Clarke, dan Riley sebagai penerus kepercayaannya, telah sepakat untuk tidak bicara. Beliau bahkan tidak bicara padaku."
"Apa yang kamu rencanakan, Ivy?" tanya Bastian penasaran. "Kamu belum memberitahuku."
"Politik adalah urusan kepentingan, Bastian. Kadang, yang sekarang jadi lawan, besok bisa jadi kawan. Tidak pernah ada yang pasti. Semua tergantung ..."
"Ivy, Sayang ..." tegur Bastian. "Langsung ke pokok permasalahan."
Ivana mengela napas. "Kamu benar-benar tidak sabaran. Aku ... cuma ingin memberitahu bahwa segel itu telah kembali ke tempatnya."
"Ha? Apa?" Bastian nyaris terlonjak dari sofa. "Bagaimana bisa? Ivy ..."
Ivana melipat tangan di depan dada. Mahkota sehari-hari yang dikenakannya tampak indah menghiasi rambut coklat panjang bergelombangnya. "Butuh waktu dan strategi untuk membuat Deputi Clarke meninggalkan ruang kerjanya hari ini. Bagaimana pun, beliau tidak akan mencurigai Ratu, yang disinyalir tidak tahu apa-apa."
Bastian menyipitkan mata. "Tunggu!" sergahnya tertahan. "Kamu sengaja mengajak Deputi Clarke bicara di taman, agar ... astaga ... siapa lagi kalau bukan Sterling dan ... kalau boleh aku tebak, tiruan segel?"
"Nyaris seperti asli," bisik Ivana. "Akan butuh waktu yang cukup lama untuk menyadarinya. Seniman kenalan Sterling memang pembuat barang tiruan ulung. Bas ..." Dia menatap Bastian dengan tegas. "... tidak ada barang yang hilang," katanya menekankan. "Semua baik-baik saja. Tidak ada barang yang hilang. Segel itu masih di tempatnya. Tidak perlu panik."
"Kamu bisa jadi sangat mengerikan, Ivy," cetus Bastian kagum.
"Jangan coba-coba mengujiku."
"Dengan demikian, pencuri segel yang asli ..."
"Bisa sedikit khawatir bahwa mungkin saja curiannya adalah barang palsu, atau terserah." Ivana mengibaskan tangan. "Kita akan lacak dia. Sosoknya tertangkap CCTV, tapi belum ada wajah maupun kemiripan dengan seseorang yang kita kenal. Demikian laporan dari Commander Sterling. Dia akan muncul, Bas."
"Riley ternyata sangat mengenalmu."
"Oh, ya? Admiral Howard bilang apa?"
"Dia bilang, kemungkinan besar kamu akan melakukan hal seperti yang kamu lakukan pasca penembakan aku waktu itu, Ivy. Kamu akan mengumumkan bahwa Raja baik-baik saja. Kamu selalu muncul dengan berita semacam itu. Semua baik-baik saja." Bastian meraih tangan Ivana dan menciumnya dalam-dalam. "Semua baik-baik saja."
"Kita sedang bermain catur dengan taruhan nyawa semua orang, Bas," kata Ivana. "Ada negara berikut penduduknya di pundak kita. Dalam permainan catur ini, kita tidak bisa melihat lawan maupun posisi bidaknya. Kita hanya bisa menerka. Malangnya, lawan bisa melihat kita meski harus menebak posisi bidak. Jangan biarkan mereka merasa menang. Iya, Bas. Mereka. Lawan kita bukan cuma satu, karena papan catur kita tidak cuma satu."
"Kamu membuatku menyadari itu sekarang, Sahabat yang kucintai." Bastian balas berbisik. "Betapa aku masih harus banyak belajar darimu. Sebagai seorang pangeran dulunya dan seorang raja saat ini, aku merasa ketinggalan dalam berstrategi."
"Pemimpin tidak pernah bisa tidur tenang, Bas. Kamu sendiri yang bilang, aku harus terbiasa. Itulah yang kulakukan saat melangkah masuk ke istana ini. Membiasakan diri."
"Kamu memang belajar banyak, Ivy."
"Tidak, Bas. Itu alami. Aku hanya bereaksi spontan berdasarkan naluri paling primitif yang dimiliki makhluk hidup saat terancam."
"Naluri apa, Ivy?"
"Bertahan hidup."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen 2: Her Majesty
Romance©anita-daniel (2020). Karya ini dilindungi oleh UU Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Segala bentuk penjiplakan, pencatutan, penggandaan dan pendistribusian tanpa ijin akan dipidanakan. *** [ON GOING] Ini adalah buku ke 2 seri...